"Nur, masih adakah kuyang di sana?"
"Hah! Mbak ini, kirain nanyain musim buah apa kek, ini malah nanyain kuyang," suaranya terdengar nyaring, terkaget-kaget. Dia sepupuku, Noor Hasanah, seorang guru SMA di Tanah Tinggi, Puruk Cau, Kalimantan Tengah.
Mendadak, Mbak ingat Kuyang, bukan kangen, tapi apa masih ada nggak di jaman sekarang tahun 2022?
Sedari kecil tinggal di Palangka Raya tahun 1980 sampai akhir tahun1998, aku masih sering melihat dari kejauhan. Bentuknya bulat berwarna hitam, di bawahnya ada seperti api kecil berwarna kemerah-merahan, terbang melintas, bergerak lambat di langit malam.
Itu kuyang, bukan orang mati, tapi orang hidup (bahkan susah mati).
Manusia bodoh berilmu hitam, memilih hidup menjadi Kuyang, tak jadi kaya raya seperti pesugihan lainnya.
Entah apa yang dicari. Katanya sih, ilmu yang 'terpaksa' diterima secara turun-temurun.
Banyak orang di luar Kalimantan tak percaya keberadaan Kuyang.
Ah! Itu hanya legenda, cerita bohong.
Pendapat tentang keberadaan Kuyang, akan berbeda, kalau pernah tinggal tinggal di Kalimantan, Kuyang itu ada. Nyata.
Kuyang mencari mangsa dengan menghisap darah bayi baru lahir atau ibu sehabis melahirkan.
Sampai saat ini, tak pernah ada kabar, orang mati karena Kuyang.
Dari bumbungan rumah, Kuyang melakukan aksinya dengan mengisap darah bayi dan ibu melahirkan. Kalau Kuyang ngisapnya kebablasan, si ibu atau anak akan pucat kehabisan darah, Itu bertanda sial bagi si Kuyang, aksinya ketahuan dukun beranak, pasti langsung dikejar, dibacain mantra...Mampoosss! Eh, Kuyang kan susah matinya.
Siluman Banyak Tanya
Menurutku, Kuyang itu manusia siluman yang sedikit bodoh, sejatinya kalau punya ilmu hitam, tidak perlu bertanya ini itu kepada calon mangsa.
Harusnya Kuyang lebih cerdas, ada radar silumannya, ini malah rempong nanya-nanya.
Begini maksudnya.
Kuyang, dalam keseharian, hidup layaknya manusia biasa, tapi orang sekitarnya tidak menyadari, bahwa dia adalah Kuyang.
Kuyang, rata-rata perempuan, bergaul seperti emak-emak pada umumnya, ngegibah gitu.
Jadiii, susah banget kannn menentukan pelaku Kuyang, sebab siang hari, hidupnya normal.
Cara menguji perempuan, Kuyang atau bukan, dengan memeras jeruk nipis. Perempuan Kuyang, jika kita peras jeruk dari jarak jauh (nggak jauh-jauh amat) dia langsung gelisah, gatal-gatal, garuk-garuk, terlihat galau tak bertepi.
Sebaliknya, perempuan biasa, dikasih perasan jeruk apalagi air jeruk nipis dikasih ke dalam kuah Soto Banjar, efeknya bedaaaa, bukannya gelisah, malah kesurupan... satu piring bisa nambah tiga piring, nyaman banar jer.
Pantangan
Orang Kalimantan, umumnya tidak mau menjawab (pantang), kalau tiba-tiba ada perempuan tak dikenal, sok akrab, bertanya kepada ibu hamil; "Buuuu, berapa usia kehamilannya?"
Mending pura-pura nggak denger, nggak usah dijawab.
Itu pasti Kuyang, karena kalau ibu itu menjawab: "Hamil 3 bulan." Si Kuyang akan memperkirakan, kapan waktu ibu itu melahirkan.
Saat itulah Kuyang melakukan aksinya. Kalau kebetulan lahirnya malam, Kuyang akan gentayangan di atas rumah calon mangsa.
Tak heran, kalau ada yang melahirkan malam hari, umumya rumah akan dijaga sanak saudara beramai-ramai supaya tak disatrorin Kuyang. Merekapun menaruh rumput jaringau, bentuknya mirip pandan, hanya lebih kecil berbau khas. Kuyang tak suka baunya. Bikin mabuk katanya.
Demi berumur panjang, tetap cantik, manusia rela mengoles 'minyak bintang atau kuyang'. Kuyang akan melepaskan kepala (sebatas leher) dan terbang bersama seisi organ tubuhnya.
Tahun 1984, pernah heboh, Kuyang melandau (kesiangan), apa karena keasikan begadang, sampe lupa waktunya jadi manusia. Kebetulan, tempat menaruh bagian bawah badan Kuyang ditemukan orang. Batang leher yang tersisa, dipasang bambu kecil di sekeliling. Otomatis, si Kuyang panik, mau menyambungkan kepala jadi susah, dan menjadi lemas. Kuyang ditangkap warga.
Waktu itu, aku diajak teman melihat rumah tempat kuyang melandau, aku menolak, ngapain coba.
Sampai saat ini, aku beruntung, hanya melihat Kuyang dari kejauhan, jangan deh ketemu langsung, ngeriiiii, seperti yang dialami Mina ku (Bibi dalam bahasa Dayak Ngaju)
Kuyang bikin trauma
Tahun 1989, waktu kuliah, aku numpang di rumah Om dan Mina Silly di Bukit Tunggal.
Jarak satu rumah ke rumah, masih berjauhan, suasana sekitarnya masih dikelilingi pohon, hutan ilalang, sepiii sekali.
Aku ingat, Mina Silly keluar rumah malam hari. Tak lama Mina pulang sambil berlari, wajah Mina begitu ketakutan.
"Ada apa, Mina?"
Bibir Mina gemetar, "Ku..ku..ku yangggg."
Dia merapatkan tangannya semakin ketakutan.
Setelah 15 menit, Mina baru bisa bercerita, tadi Mina melihat kuyang, terbangnya terlalu rendah (mungkin baru belajar terbang). Bentuknya menakutkan, lidahnya menjulur panjang berlendir, matanya membesar, rambutnya terurai dan organnya menjuntai.
Sejak itu, kalau dibonceng motor, aku lebih suka menunduk, daripada melihat langit, takut ada Kuyang, bikin trauma berkepanjangan.
Kami bertemu tetua Kuyang, laki-laki setengah baya, lehernya bergaris melingkar, mulutnya agak monyong berwarna merah karena menyipa(Mengunyah sirih pinang)
Bapak Kepala Kampung, berbisik: Jangan dekat-dekat, jangan melihat matanya kalau dia bicara.
Jujur, kami takut sekali, sebab jika Tetua itu suka seseorang, bisa saja ia menurunkan ilmunya tanpa kita ketahui. Tiba-tiba, leher gatal, ingin melepas kepala dari badan, kakipun bisa naik ke kepala untuk mendorong kepala, kita tak menyadari, tiba-tiba jadi Kuyang.
Untung, dulu aku tak disukai tetua itu, baru sekali ini, merasa beruntung, tak berupa cantik. Jadilah aman, tak jadi siluman bertaring.
"Masih ada kuyang nggak?" tanyaku penasaran.
"Masih ada, mbak, tapi agak berkurang. Dulu tahun 2011, masih banyak hutan, jam 9 masih suka melihat," tandas sepupuku...(Melihat aja kan, nggak pake say hello).
"Kalo di Palangka Raya, sudah nggak ada lagi, sudah ramai," lanjutnya.
Sangking penasaran, tanyalah aku dengan bekas teman kuliah dulu.
"Kuyang di Palangka Raya sudah nggak ada lagi, En. Mungkin sudah ubanan atau ganti profesi. Udah bosen gentayangan Terus, terbang nggak jelas."
Cuman bisa bilang, oh!
Kuyang, percaya tidak percaya, tapi ada.
(Baca juga: Tradisi menjelang kelahiran di Sampit
#menulisKenangan
#BukanHoror
#bukanhantu
No comments:
Post a Comment