Review

Wednesday, June 15, 2022

Tersiksa Karena Kutu


Sore sehabis hujan, waktu yang tepat bermain di genangan depan rumah di Bukit Hindu.
Baru mau melangkah, sudah dihadang tante di depan pintu.
Aku langsung cemberut, spontan tanganku mengaruk rambut berulang kali. 
Makluk Tuhan bernama kutu ini, kalau sudah mengigit, guatalll, nggak digaruk, tersiksa. Digaruk kuat-kuat jadi korengan. 

Tante Pancar adik Mamaku, kalau sudah berburu kutu rambut, semangat sekali.
Nggak bisa ditolak, karena perintah Mama, aku merengut, piluuuu.

Petilu
Rambut terlebih dahulu dioles dengan minyak, ini nih! bikin malu, sampe besok rambut bau minyak goreng.
Duduk di lantai beralas tikar, kaki tante ngelosor, aku merebahkan kepala di pangkuannya. Satu, dua, tigaa...aksi pembantaian dimulai.

Pelan-pelan, rambutku disibak, helai demi helai diperhatikan dengan seksama.
Tangan kanan tante memegang 'petilu'. 
Alat yang terbuat dari bambu pipih, bagian ujungmya berbentuk runcing. Rambut dibuat menjadi garis lurus, ini mempermudah melihat barisan lisa (anak kutu), kor(telur), atau gerombokan kutu bersembunyi di kulit kepala, sasaran  disatukan di ujung petilu, lalu ditekan dengan kuku jempol kiri. Berbunyi, tik! Berarti telurnya berisi anakan.
Sebenarnya, ya, Tante, kepala ini terasa sakit dikerik ujung petilu, tapi kasihan sama tante, inikan hobby satu-satunya. Demi tante kesayanganku ini, aku rela disiksa, dan tertidur.

Tradisi Petan
Satu lagi, pemburu kutu rambutku, namanya Budhe Narti (tetangga sebelah rumah) suka maksa cariin kutu. Sebel.
"Mrene, Nduk, cah ayu." Terpaksa menuruti panggilannya, aku duduk di depannya, membelakangi Budhe Narti.
Kata Budhe, dia melakukan ini untuk melestarikan tradisi Jawa namanya Petan atau berburu kutu rambut, bentuk berbagi informasi, dan kebersamaan sesama tetangga dengan barengan cari kutu rambut satu dengan lain, sebut aja, cara ngegibah yang asik.

Budhe Narti memakai cara manual. Jarinya sibuk mengerayangi rambut kepalaku, semakin lincah kutu, Budhe gemes, ngomel-ngomel ke tumo, setelah dapet, kutunya bukannya diplites, malah berakhir di ujung gigi 'kletusss', katanya sih penambah darah, vitamin.
.
Sebenarnya, aku heran juga. Kutuku, betah sekali di rambut. 
Mungkin, karena serin berkemah. Tidur satu tenda dengan posisi kepala disatukan di tengah, kaki mengarah ke pinggir tenda. Otomatis, keluarga kutu dengan gembira, traveling dari satu kepala ke kepala lain.
.
Sisir Rapat
Selain berburu kutu dengan petilu, petan ala Budhe Narti. Upaya lain, Mama memotong rambutku sangat pendek, selalu diperintahkan, menyisir dengan sisir rapat (serit). 
Kepalaku menunduk, trus rambut diserit, kutu berjatuhan ke kertas putih di lantai. Kalau gerombolan kutu itu terlihat banyak, langsung dibantai, pites dengan gemas. Akhir yang tragis ya, Kutu.

Segala upaya sudah dilakukan, kenapa juga keluarga kutu belum juga hilang?
.
Hari Minggu pagi, Mama memanggilku.
"Ada apa lagi?" batinku.
Disuruh duduk di bangku kecil, aku pasrah. 
Rambut diusap dua tetes (lebih kali) obat nyamuk cair Baygon, lalu ditutup handuk, dibiarkan beberapa saat.
Setelah itu, rambut  digosok berlahan  dengan handuk kecil putih. Bener manjur, gerombolan kutu nempel, terbunuh massal.
.
Selama menunggu itu, aku rada mabuk mencium baunya.
Untung nggak mati.
Sungguh menderita. seandainya saja ada obat kutu, mungkin aku tak sengsara begini.
.
Begini nih!
Merana bukan karena cinta, tapi karena kutu. 
Aku ra popo. Ihiks!

#menuliskenangan
#PalangkaRaya tahun 1981
*membasmi kutu*

No comments:

Post a Comment