Ketika anai-anai kembali pulang ke dalam tanah.
Bertanda musim hujan telah berakhir.
Nyanyian asmara kodok
jantan merayu betina dewasa.
Terdengar membahana.
Pada puncak purnama, tarian kehidupan berlangsung sepanjang malam.
Ada genangan kecil di samping langgar kayu di Bukit Hindu.
Sepulang sekolah, aku selalu bermain ke sana.
Berjumpa dengan sepasang kodok, yang kini malah menepi di kolam, bungkam membisu. Itu bertanda pesta kasih telah usai.
Bahagia rasanya, melihat ribuan telur kodok, melilit di tepian.
Warnanya transparan, bentuknya panjang, ada titik bulat hitam berjarak di dalamnya, berlendir.
Proses kehidupan sedang berlangsung.
Yang paling menyenangkan, melihat metaformosis kedua.
Ribuan berudu, hitam, bulat gendut, gerak berenangnya sangat lucu.
Sisa roti aku lempar, spontan berudu menyerbu.
Tahap ketiga, aku hanya memperhatikan sampai menjadi kodok dewasa.
Di fase ini, aku mulai takut dengan kodok dewasa. Badan dan rupa, jelek, berbintik dan basah.
.
Seperti kehidupan kodok, semua melalui metaformosis
Een kecil, kurus, hitam, kutuan, melalui banyak proses.
Sering aku bercermin, memantul wajah tak manis, jelek seperti kodok.
Baru setelah remaja, aku sadar; jangan suka minder, karena tak penting kecantikan wajah, yang penting, cantik hatinya.
Cantik menurut Allah, bukan manusia.
Sampai detik ini, aku pun bersyukur mampu melewati semua kehidupan.
Dan...
Ternyata, aku bisa juga cantik...
Sebenarnya, inti cerita ini, hanya ingin memuji diri sendiri.
Solali lali ola olala.
Palangka Raya 1983
#menuliskenangan
#menulis
*berproses*
Baca juga :
No comments:
Post a Comment