Kejadian kemarin sore, bukan hanya TV hitam putih kami yang tersambar petir
Tapii, Tante Pancar adik Mama, juga menjadi korban kesambar petir, kena di jempol kakinya.
Laiyahhh...hujan-hujan malah gosok pantat panci di pinggir sumur.
Yang ku ingat, sayup terdengar Bapak melantunkan azan, merdu di antara gemuruh, petir menyambar, angin berputar kencang.
Aku mengintip dari horden depan, nasib rumah pohonku di depan rumah, rantingnya patah, daun-daun berserakan.
Bapak mendekatiku, lalu membuka pintu sambil berkata, "Dan kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Hujan badai sore itu, membuatku ketakutan, tidak seperti biasa, suara geledeknya keras tak henti-henti, langit seakan mau runtuh. Menakutkan sekali. Apa mau kiamat?
Bapak menjelaskan, bahwa petir sebagai salah satu tanda kebesaran Allah SWT, ada dalam Al Quran, surat Ar-Ra'd ayat 12-13,
"Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung (Ar-Ra'd: 12)."Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya"
(Ar-Ra'd: 13).
"Janji ya, mulai sekarang, rajin sholat, belajar ngaji, ilmu agama di Madrasah, nggak boleh bolos lagi," nasehat Bapak, ekpresi sangat serius. Aku menunduk, menganguk berulang kali.
Bapak membersihkan daun-daun di teras, aku berlari ke dapur belakang, melihat keadaan tanteku meringis kesakitan, luka di kakinya berwarna merah dan melepuh, aku jadi sadar, betapa kecilnya daya manusia di depan kuasa Allah SWT...baru dikasih sedikit sambaran petir, siksanya luar biasa.
Tante ngobati luka bakarnya dengan olesan kecap manis, sedikit mentega...kenapa nggak sekalian digoreng aja? Sungguh aku terlalu bocah, belum paham dan tak bertanya pula.
.
.
.
"Buuu, Pakkkk, tolonggg," teriak Bude Narti dari pintu samping, wajahnya pucat, bajunya kuyup.
Bergegas Bapak ke rumah sebelah, rupanya Mas Suroto(Pakdhe) penyakit jantungnya kumat... apa kaget mendengar suara petir ya.
Aku hanya melihat, Bapak membawa Mas Suroto naik motor, duduk di belakang terkulai lemass, tangannya melingkar erat di pinggang Bapak. Kami belum punya mobil, hanya motor merah tahun 80.
Tetangga belakang rumah, berhambur keluar melihat kondisi setelah hujan petir.
Seng plastik penutup jamban Budhe, tempat dedemit mandi, meleleh tersambar kilat.
.
Sore itu, suasana campur aduk, kami yang bahagia, tivi hitam putih kesambar petir, juga was-was, apakah Mas Suroto selamat dari serangan jantung.
Yang kutau, tahun belakangan, Budhe Narti, jadi juru masak di catering Mama.
Kami sudah pindah rumah, nggak ngontrak lagi di Bukit Hindu tapi tinggal di rumah dinas di komplek kehutanan.
Aku masih bocah, nggak mungkin bertanya, kemana Mas Suroto?
Apakah masih ada, atau dibawa dedemit, atau pergi ke alam lain.
Entahlah...
Baca juga
Palangka Raya, 1980
*MasSuroto* #menuliskenangan
No comments:
Post a Comment