Setiap orang pasti memiliki tanda di tubuhnya.
Akupun punya, tanda di dada sepanjang 8 cm, Mama tak pernah tau, karena aku merahasiakannya.
Masa itu, masih bocah, hitam kurus tak manis. Aku suka naik pohon belimbing di belakang rumah. Letaknya bersebelahan dengan jamban Budhe Narti hanya dibatasi pagar seng.
Dari atas, mendadak wajahku pucat(rasanya mau mati) melihat pemandang di bawah, ruang tengah Budhe.
Mas Suroto diseret kasar oleh Budhe, kaos singletnya sobek. Tangan kekar budhe menekan tubuh ringking tinggi suaminya.
Hardikan dalam bahasa Jawa, larung dalam histeris tangisnya,
Mas Suroto hanya diam.
Aku berada di atas pohon, mematung, kaget, tangan Budhe menunjuk ke arahku, atau arah jamban itu.
Merasa ketahuan seperti pengintip di siang bolong, langsung aku meluncur memegang erat batang pohon.
Aahhh...aku meringis, sakit sekali. Ada paku di batang itu, hingga menoreh luka di dada.
Pelan intip dari balik kaos berlumuran darah, kulit mengelupas, kelihatan warna putih, kupikir itu tulang, nyeri sekali.
Sambil menahan sakit, gugup, luka itu kuberi obat merah. Jujur, sebenarnya, aku takut mati, anehnya tak berani bilang ke Mama, nakal sih. Luka itu sembuh sendiri, menjadi tanda hingga kini.
.
Bocah lugu, yang tak mengerti, mengapa Budhe Narti mengamuk sore itu.
Berselang beberapa Minggu, barulah aku tau.
Kenapa Budhe ngamuk? Badannya yang gemuk besar menekan suaminya, tak heran Mas Suroto kena smackdown.
Semua gara-gara kejadian setiap malam Jumat, trus terdengar suara air di jamban, menguyur dengan pelannnn. Ternyataaa...Itu perempuan simpanan, bukan hantu atau dedemit makan bunga...bukaaan.
Ia datang di tengah malam, ketika Budhe lelap, kelelahan setelah seharian kuli masak.
.
.
.
Nasib, kok tegaaaa.
Rumah Kontrakan di Bukit Hindu, tahun 1980.
#menuliskenangan
#BukanHantu
No comments:
Post a Comment