"Mikiiiii."
Teriak kami bergantian, ada yang menunduk mencari di kolong ranjang.
Miki, kucing jantan berbulu coklat terang, ekor pendek melengkung, berbadan besar. Beberapa hari ini, ia sibuk tebar pesona pada betina.
Kalau sudah birahi, kadang tak mau pulang, bahkan makanpun tak berselera. Raungan mengoda betina genit, lebih didengar dibanding teriakkanku, Miki berpetualangan jauh dari rumah. Entah di mana.
Miki tak tau hari ini kami pindah rumah.
Bapak mendapat rumah Dinas Kehutanan.
Gelisah melanda dua bocah SD, kakak beradik, bagaimana kalau Miki tak ketemu?
Sore itu aku mengayuh sepeda di belakang mobil pic up, sekali-kali menengok ke belakang, rumah kontrakan semakin jauh.
Mikiiiiii, Mikiiiii.
.
.
.
Setiap pulang sekolah, aku dan kakak kembali ke rumah Bukit Hindu, jarak sekitar 5 km, melewati jalan kecil berliuk. Aku berteriak memanggil Miki.
Kucing itu tak tampak, mungkin dia bingung melihat penghuni baru di rumah kontrakan.
Dua minggu lebih telah berlalu, harapan mulai musnah untuk bertemu Miki. Mana mungkin, dia bisa menemukan rumah kami. Tempat asing baginya
***
Ada suara lemah terdengar di depan pintu. Sontak kami berteriak bersama, tak percaya, Mikiiii.
Kurus, dekil, badannya penuh luka dan berlumpur.
Pasti, ia telah menempuh perjalanan jauh tak tentu arah, tak makan, ia bertarung dengan kucing penguasa wilayah.
Dari Miki, aku belajar, arti kesetiaan dan kerinduan seekor kucing pada pemilik itu ada.
Miki terus mencari.
Dan menemukan rumah kami yang baru.
Sayangi peliharaan dengan segenap kasih sayang.
Miki membuktikan ia bisa menemukan tempat berlabuh hingga menua.
Dari Miki, menjadi sejarah, kenapa aku selalu jatuh cinta dengan kucing berwarna coklat terang.
Komplek Kehutanan Palangka Raya, 1981
#menuliskenangan
#Day9
*Miki kucing*
No comments:
Post a Comment