Kata Mama, setiap kata yang terucap adalah harapan dan doa.
Aku selalu percaya itu.
.
Een kecil dan saudaranya, hanya bisa terpukau mendengar cerita teman yang baru datang berlibur dari Jakarta.
Kata mereka, di Jakarta ada banyak kendaraan dan gedung tinggi.
Wah! luar biasa ya, ibukota Indonesia itu.
Lalu aku melihat kotaku, Palangka Raya, gedung tertinggi hanya dua lantai. Tempat paling ramai dikunjungi, hanya Bundaran Besar dan pasar.
Bundaran besar, letaknya dekat dari rumahku di jalan Yos Sudarso, simpang lima.
Bundaran tahun 1983, tempat kami berenang, suka juga berendam dengan kerbau, karena ada kumbangan air dan lumpur di pinggir bundaran.
Di tengah bundaran, dibuat Patung Tentara membawa senjata laras panjang, sendirian, berdiri tegak siap siaga.
Aku kok percaya saja mendengar cerita teman, kalau patung itu kesepian, tengah malam, suka turun, muter bundaran. Seremkan, patungnya bisa hidup.
Hanya itu hiburan kami.
Kadang, aku suka terpukau dengan tanteku kalau pulang kampung ke Palangka Raya. Penampilan seorang istri Anggota DPR RI, Jakarta, berkaca mata hitam besar, sepatu tinggi, terlihat hebat. Yang nggak kusuka, omongan, terlalu tinggi dan meremehkan keluarga kami, miskinlah, bla bla bla. Walau begitu, tetap aja aku penasaran dengan Jakarta.
"Kapan, ya, kita bisa ke ibukota," tanyaku pada kakak. Dia mengeleng, tidur di atas dipan kayu bersusun, aku tidur di dipan bawahnya.
Ah, itu cuman mimpi, harapan kecil anak daerah sepertiku.
Masa kecilku dihabiskan di kota Malang, lalu pindah ke Palangka Raya.
Saat lebaran, rata-rata keluarga perantauan akan mudik ke Jawa, kami tidak. Terlalu berat diongkos. Sebaliknya, malah Nenek atau Aki Cirebon yang bertandang ke Palangka Raya.
Dipikir, berani juga nenek atau Aki datang ke Palangka Raya sendirian, demi kerinduan pada.anak dan cucu.