"Saaaahuuurrr!!!," teriak keras abang Simanjuntak membangunkan sahur selama tiga puluh hari Puasa.
Tetangga belakang rumah, berisiknya minta ampun, dar der dor memukul pagar seng pembatas rumah kami.
Sebenernya ada bagus memang bantu membangun sahur juga kesel sama si Batak, tak dinyana, bertahun kemudian, malah kakakku menikah dengan pria suku Karo, Kabanjahe.
Mungkin ini namanya, tak kenal maka tak sayang, sekali kenal, sayang terus.
Embun masih tersisa di desa kami, Cikalahang. Kakakku memetik daun singkong di belakang rumah. Turinah asisten Mama, semangat pula memarut kelapa. Aku membersihkan ayam kampung yang baru dipotong.
Kesibukan pagi di dapur belakang, karena sejak semalam permintaaan Mama, ingin makan masakan Karo.
Itu artinya, kakakku yang masak hari ini.
Kakak pertamaku memang pandai memasak khas tanah Karo dari arsik narung emas, cipera dan entah apa itu namanya.
"Hari ini, kita masak sayur tasak telu," katanya sambil memasukkan daun singkong ke air rebusan. Setelah itu daun singkong diangkat, diperas airnya dan cincang kasar.
Tasak telu artinya masak tiga.
Tiga bahan itu terdiri dari daun singkong, kelapa parut dan masakan ayam rebus yang dicampur dengan darah ayam kampung.
Karena darah (getah) itu haram bagi umat muslim, diganti dengan hati ayam yang diungkep.
Sementara Turinah mengulek cabe rawit, bawang merah, sedikit andaliman hingga halus,
aku mendengarkan cerita kakakku sambil mensuir daging ayam.
Ketiga bahan utama dimasukan kakakku ke wadah; daun singkong cincang, parutan kelapa, potongan hati rempela ayam, bumbu halus, asam cekala, daun jeruk nipis dan sebatang serai. Sekali-kali di aduk hingga merata, dimasak sampai matang.
Wangi tasak telu khas Karo menyeruak membuat lapar tak terkira.
Sayur tasak telu, setelah dinikmati dan melihat rupanya, mirip urap tapi ini urap khas Karo.
Begitulah kami, kalau berkumpul di rumah orangtua, memasak makanan dari berbagai daerah.
Nikmat nian.
Cikalahang, kala itu.
#NopemberKuliner #H2 #SumateraUtara
No comments:
Post a Comment