Papeda, bagaimana rasa makanan itu?
Susah untuk dibayangkan, apakah aku harus makan lem kertas terlebih dahulu.
Walau banyak orang mengatakan enak, tapi soal selera setiap orang itu berbeda, apalagi belum mencoba.
Menurutku, kalau kita menulis kuliner, tak bisalah hanya berdasarkan sumber bacaan atau nonton You Tube.
Intinya, kuliner itu harus dilihat, dan dinikmati.
Eh, jadi ingat satu episode Dae Jang Geum dalam Jewel in The Place.
Dayang istana itu seakan mau mati saja, ketika indra perasanya hilang.
Seperti prajurit kehilangan senjata.
Dayang istana memang bisa membuat makanan, tapi bagaimana ia tau, masakan itu enak atau tidak
Seperti ujung pena, jika menulis, menceritakan makanan yang tak pernah dilihat dan dirasa, tulisan itu ada, tapi kehilangan jiwa, kosong tak berkesan
Hingga aku merasa berat, jika menulis kuliner berdasar melihat dan membayangkan.
"Besok Ya Bu Een, kumpul di bawah pohon pinus."
Pesan bu Seno, ngapain coba? bertemu kuntilanak yang suka duduk di atas batu...Masa iya.
Tau ah!
Besok hari. Di bawah pohon Pinus.
"Kita di sini aja, bu Een, anggap aja. Kita piknik tipis-tipis sambil makan papeda. Rindu kali aku dengan tanah Papua."
Bu Seno, pernah berdinas lama di Papua, pantaslah bela-belain membeli sagu ke Pasar Anyar.
Qadarulullah.
Terwujudlah keinginanku makan papeda. Kan aku penasaran rasanya, bagaimanaa gituh.
Bahan-bahan Papeda cukup sederhana.
Sebelum diolah, bahan utama, tepung sagu harus diayak dulu, supaya bersih dan lebih halus.
-250 gram tepung sagu,
-1 sdm garam
-4 gelas air
Sambil mendengar lagu Indonesia Timur, Mbak Inggit, mulai mengolah papeda.
Cara Membuat:
- Sediakan wadah, campur tepung sagu, 1 gelas air dan garam, aduk hingga rata
-Dalam panci, didihkan 3 gelas air.
-Masukan campuran tepung sagu ke panci air mendidih, tuang berlahan-lahan sambil terus diaduk dengan sendok kayu yang besar agar tidak mengendap.
Setelah semua campuran tepung sagu masuk ke air mendidih, aduk cepat supaya matangnya merata.
Nanti, setelah dingin, papeda akan mengental, berwarna putih transparan.
Bubur sagu khas Papua sangat cocok untuk orang diet, karena termasuk makanan yang rendah kolesteror, cukup nutrisi.
Dalam bahasa Papua, papeda disebut dengan 'dao'.
Rasa papeda yang hambar dan tawar, cocok disaji dengan sayur kuning berkuah, ikan dan daun kangkung. Supaya kuah segar, tak lupa ditambah perasan jeruk.
Cara menyajikan pun unik, papeda di tanah asalnya, diambil dengan dua bilah bambu di kedua tangan, diputar, lalu ditaruh ke dalam piring.
Agar papeda tak lengket, piring harus diberi kuah sayur, baru di kasih papeda.
Ini kebalikan dengan nasi.
Biasanya nasi dulu ditaruh di piring, berikutnya lauk pauk.
Bagaimana rasa papeda?
Satu kata: enakkk, benar-benar enak.
Papeda, meluncur lancar ditenggorokan, tak perlu dikunyah, sayurnya segar, ikan ekor kuningnya pun mantap.
Bu Seno, menuturkan, dahulu, papeda adalah makanan pokok, tetapi sekarang telah menjadi makanan sekunder penganti nasi, tak heran papeda agak langka. Kini papeda jarang ditemukan sehari-hari, apalagi anak jaman sekarang, mau nasi dengan ayam goreng tepung. Sangat disayangkan warisan kulinar khas masyarakat timur ini akan hilang berlahan, harus terus dibudayakan makan sagu.
"Papeda kalau di kampungku Makassar, namanya Kapurung, Bu," klaim bu Hj Fatmawati.
Ealah, baru aku tau, ternyata Papeda bukan milik orang Papua dan Maluku saja.
Bubur sagu ini ditemukan juga di masyarakat Timur Indonesia dengan nama berbeda.
Makassar, masakan ini namanya kapurung, Suku Tolaki, Sulaswesi Tenggara menyebutnya Sinonggi.
Menikmati kuliner Nusantara, khususnya Papeda khas Papua, tak perlu repot pergi ke Papua, cukup di bawah pohon pinus saja.
Bogor, dengan hati gembira.
-Mama Een-
(Baca: Papeda Telur Papua)
#KulinerNopember #Papeda #Papua
Mbaaak.beneran dijual di Pasar Anyar?? Lha kok saya baru tahu? Padahal sudah lama memendam rindu dg makanan ini. Thanks bangeet sdh menulis makanan unik kampungku .
ReplyDeleteBenar mbak, harus diayak dulu ya, agak kotor.Kata bu Seno, bilang aja tepung sagu.
DeleteBenerrr
ReplyDelete