Uwa Jamillah malah plonga-plongo, nggak tau artinya.
Perjalanan Cikalahang-Lampung mengantar rombongan calon pengantin pria (anak Uwa) membuat Uwa lelah tak terkira. Terduduk lunglai seperti tak berjiwa di samping pengantin pria.
Sesaat setelah aku paham, arti : Tegak, San. Berdiri, Besan.
Baru sebentar tegak, Uwa duduk lagi dengan mata mengantuk.
"Waaaa, mau ngopi?" tawarku. Ia mengeleng lemah. Padahal suasana begini, cocoknya minum kopi cap Bola Dunia, kopi Lampung jenis Rabusta yang strong dan berkarakter.
"Uwa mau makan?"
Siapa tau lapar.
Mengeleng lagi, "Hayang sare...Tunduhhhh," bisiknya.
Aduh! bikin malu aja, acara pengantenan, malah mau tidur, nggak enak sama besan.
Acara Walimatul 'urs sepupu dengan istri (keturunan Jawa Lampung), diselenggarakan sederhana.
Lagu Jawa, Sewu Khuto, terdengar mendayu-dayu membuat kantuk Uwa tak tertahan lagi, biarlah dia tertidur di kursi.
Aku menikmati hidangan prasmanan khas Lampung, berbagai cemilan: keripik pisang, lempok disajikan di atas meja depan kursi undangan.
Ada satu yang menarik, sayur kabing atau gabing .
Dari penampakannya, mirip juhu umbut enyuh (sayur umbut kelapa) di Kalimantan Tengah.
Sayur kabing, biasanya disajikan saat acara pernikahan atau adat. Bahan utama kabing, diambil dari bagian dalam batang kelapa yang padat berserat, berwarna putih gading.
Sebelum diolah, umbut mentah diiris tipis seperti lempengan, kemudian direbus dan ditiriskan. Umbut dimasak dengan santan, bumbu kuning, dicampur tulangan sapi atau ikan asap.
Menikmati kabing, sensasi santan kelapa, lembutnya umbut, dan bau rempah, rasanya sama persis juhu umbut di tanah leluhur.
Sebagai keturunan Dayak Ngaju, luar biasa menemukan juhu umbut enyuh di Lampung, lelah diperjalanan terbayar sudah.
Sore harinya, rombongan keluarga Cikalahang meninggalkan tempat acara.
Ya sudah, dibawa aja, daripada di sana, cuman tidur, ngomong dengan besanpun tak nyambung, nanti Uwa merasa sebatang kara.
Lampung, tahun 1999.
#NopemberKuliner #Lampung #Kabing
No comments:
Post a Comment