Dunia terbalik.
Pecahnya pembuluh darah di otak Bapak, tiba-tiba terjadi perubahaan sikapnya, siang tidur, malam melek.
Sosok pendiam, berubah menjadi banyak bercerita, khususnya; tentang betapa gagahnya bapak dahulu, melintas rimba, berlari cepat, Pegawai Kehutanan Sang Perwira Rimba.
Lulus tahun 1967 dari Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Kadipaten, Jawa Barat, bapak langsung ditempatkan di pelosok Kalimantan tengah.
Tak pernah bapak bermimpi sampai ke Kalimantan, dimana letaknya, tak tau.
Yang ada dalam bayangannya, hanya rimba belantara, suku Dayak gemar memotong kepala (ngayau), ilmu pedang maya, atau manusia rimba berkaki panjang.
Beribu kengerian yang ada di kepala, tapi harus nekad karena tugas memanggil.
Pemuda suku Sunda pergi seorang diri.
Inilah, pertama kali, bapak naik pesawat terbang dari Jakarta ke Banjarmasin.
Dari Kalsel, bapak langsung naik kapal air, dua hari dua malam menuju Palangka Raya.
Tak yang memberitahukan, harus bawa makanan (belum ada dapur umum) di kapal.
Nelangsa, bapak berpuasa selama di perjalanan, atas kemurahan seorang bapak memberi sepotong roti tawar dan air, penganjal perutnya.
Bapak berlabuh di pelabuhan dermaga.
Tak ada yang menjemput.
"Mau naik beca, Pak."
bapak setuju. Sementara menunggu beca datang, bapak berkemas barangnya.
Alangkah terkejutnya, yang dinamakan 'beca', hanya berupa gerobak dorong, akhirnya bapak duduk menyempil di antara kopernya.
Penugasan pertama bapak di Bukit Tengkiling, menyemai bibit akasia. Palangka Raya dulu sangat panas dan gersang, saat itu ada program penghijauan, bapaklah yang menanam pohon akasia di sepanjang jalan utama. Sampai sekarang, akasia itu tumbuh subur, berganti bibit.
Selama dipenyemaian, untuk makan saja, susah sekali. Warga setempat memberikan mentimun (ukuran besar), hasil kebun secara gratis.
Bapak memakan mentah, sedikit sambal, nasi seperti di kampungnya di Cikalahang.
teman serumah mengajarkan cara lain memasak timun, mudah dan cepat, namanya Juhu tantimun.
Awalnya, bapak merasa aneh dengan rasanya, karena orang Sunda hanya makan lalapan bonteng /timun mentah, jarang dicampur air atau santan.
Lama kelamaan, alah bisa karena biasa, bapak lebih sering makan masakan suku Dayak Ngaju,: singkah jawet (singkah rotan muda), Rimbang(terung asam Dayak), kandas sarai, tempuyak, umbut eyuh, juha asem, tepe dawen jawau.
Bapak muda hingga kini, lebih suka makan ikan air tawar sungai: Behau , baung, saluang, lais, jelawat, belida, papuyu, dan patin sungai.
Semua tentang kuliner Dayak Ngaju (halal) bapak suka.
Semua anak bapak lebih menyukai masakan Dayak di banding masakan Sunda.
Kami jarang makan pepes ikan, semua ikan dijadikan sayur. Kami biasa, habis makan, selalu ada kue melengkap.
Baru-baru saja, kami biasa makan sayur asam Sunda saat pindah ke Jakarta, itupun tak favorit...Masakan Mama dan kegemaran Bapak lebih dominan.
"En, nyieun juhu asem singkah," pintanya, setelah memakan suap terakhir yang aku dulang.
"Inikan sama aja, Pak, juhu asem gurami."
"Bedaaaa....teu aya rimbang, singkah, behau" potongnya.
"Dimanaaa kita mencari Pak, inikan Cikalahang"
Ada-ada aja permintaannya.
"Nantiii, kalo Bapak sembuh, mau ke Kuala Kurun aja.
Makan juhu asem Behau sepuasnya."
Rajuknya membuang muka.
Aku melonggo.
.
Iyakan aja.
.
Cikalahang, Kab Cirebon.
(Baca: Cara Membuat Juhu Asem Dayak )
(Baca: Cara membuat Juhu Tantimum )
#NopemberKuliner #JuhuAsem #DayakNgaju #Kalteng
No comments:
Post a Comment