Review

Tuesday, November 9, 2021

Burgo, Kuliner Khas Palembang

"Nauliii...konsentrasi." 
Iparku meletakkan telunjuk di tengah dahinya, kemudian memindahkan jarinya ke kanan, "Focus!"
Bocah di depannya, mengikuti komando. Susah payah mengerakkan bola matanya dari tengah lalu ke samping, matanya tak simetris. 
Sebenarnya, aku suka nggak enak dengan Bu Basri, Mama Nauli, gara-gara kelakuan iparku itu.
Sekali pun suka mengoda, anak-anak dekat dengan iparku, sepulang kantor, mereka pasti diajak naik Vespa Sprint'76 untuk membeli jajanan, permen bentuk kaki berwarna merah, yang meletup di lidah.
 
Tetap aja, aku nggak enak, takut kedengaran Mama Nauli.

"Mak Icaaa."  
Wajah bulat bermata sipit, tiba-tiba muncul dari balik pintu depan, bikin kaget.
Ia menaruh mangkuk di meja, tak ada cuko seperti biasa. 
"Makanan khas Palembang apa lagi nih?" tebakku. Bukan pempek-pempek, tekwan, atau lenggang.

Bu Basri, tetangga sebelah rumah, suka memberi masakan khas daerahnya.
Dia pernah bilang, betah sekali tinggal di Palangka Raya, karena kondisi wilayahnya mirip Palembang, dikelilingi sungai. Untuk memperoleh bahan  baku pempek- empek seperti ikan gabus, belida, tenggiri dan patin sangat mudah didapat di Palangka Raya.

"Ini loh! saya kembaliin mangkuk, sayur asam patin, Mama Ica kemarin."

"Oalah, pake diisi segala sih." 
Biasalah, basa-basi, padahal aku senang juga, 
"Apa nih?" Aku suap sesendok, kuah santan pekat  ditabur bawang goreng dan sedikit sambal cabe .
Rasanya gurih dan aroma ikan gabus sangat dominan
Menurutku, kuah ini mirip dengan rasa kuah ketupat kandangan Kalimantan Selatan.
Perbedaannya, ketupat kandangan dihidangkan dengan ketupat, sedang burgo dibuat dari adonan tepung beras dan sagu, dikukus sebentar, setelah matang digulung menjadi dadar dan dipotong kecil-kecil. Bisa dikatakan, burgo adalah pasta kearifan lokal Indonesia.

Inilah pertama kali aku menikmati Burgo, makanan khas Palembang.
Tiba-tiba, aku merasa ini waktu yang tepat untuk bicara:
"Mama Nauliii... "Aku sedikit gugup, "Maaf ya, iparku suka godain Nauli, maaffff sekali."
Bu Basri tersenyum, "Tak apo Mak Ica. Iparmu kan, melatih Nauli supaya konsentrasi bola matanya. Kami sudah berusaha, dulu mata Nauli pernah dioperasi, bukannya baik, malah tambah konslet, kedua bolanya malah ke tengah semua."
Mendengar cerita Bu Basri, aku malah sedih.
.
Entahlah, di mana Nauli sekarang, pasti usianya sudah 33 tahun.
Kami sudah lama berpisah, Mama Nauli pindah ke Muara Enim, aku hijrah ke Bogor.
Palangka Raya, tahun 1997
#NopemberKuliner  #SumateraSelatan #Burgo

No comments:

Post a Comment