Review

Wednesday, November 18, 2020

Menunggu Penjual Onde-onde di Pantai Double Six Seminyak

Telepon berdering.
"Shaaaay....kita ke Pantai Double Six, yuk...eikeh jemput."
Ajakan yang tak mungkin di tolak dari seorang kawan baik, yang selalu antusias setiap kami datang ke Bali.
.
Tiba di tempat tujuan di daerah Seminyak, weleh-weleh mencari tempat parkir mobil rada susah, jalanan macet sekali. Terpaksa jalan kaki lumayan jauh dari parkiran. 
Kita masih bugar, kesihan Gerald, nafasnya ngos-ngosan. Sebentar-bentar berhenti, tarik nafas. Rada kuatir juga, saya menemani bapak sepuh ini berjalan, sementara dua lelaki itu...jalannya cepat. Lupa dengan kami, ihiks!
Kafe Pantai yang Unik
Jam 17.00 WITA.
Matahari masih terlalu terik.
Di Pantai Double Six terdapat kafe-kafe unik yang berjejer sepanjang area pantai. Kafe menyediakan payung besar, menaungi bean bag warna warni sebagai tempat duduk, ada sofa  dan kursi yang ditaruh di atas pasir pantai, menghadap langsung ke bibir pantai.

Kami memilih tempat duduk di kursi plastik saja, kalau bean bag, orang gemuk macam kita-kita ini, kalau sudah duduk, susah bangkitnya.
Seorang pemuda berkulit legam, berwajah manis, perawakannya mungil, sigap memasang payung besar untuk mengurangi sinar matahari menyilaukan mata. Dengan santun, ia menawarkan menu makanan dan minuman kepada kami. 
"Kasih satu coca cola dulu." Pinta saya, sepertinya gula darah Gerald drop, dia berkeringat dingin bercucuran...takut tiba-tiba pingsan, trus yang kasih nafas buatan sapa dong. 
Beberapa menit kemudian, Gerald sudah bisa tertawa. Leganya.

Saya bisikin ya, kalau kalian ke kawasan Pantai Double Six nggak perlu ragu untuk duduk, yang penting kita membeli makanan dan minuman di cafe terbuka ini.
(Beda ya dengan di Pantai Kuta, sekalipun beli minuman, kursi yang kita duduki, harus bayar)
.
Satu kata: Santai
Turis manca negara dan domestik berbaur di bawah payung, suasana penuh tawa, rilex bersama keluarga atau teman.
Di sindang, elu elu, gue gue, EGPCC! emang gue pikirin cuih cuih...
Kita mau santaiii.
Semua sama, menunggu senja. 

Kalo mau jujur, kita nggak lapar sih, cuman nggak enak aja, nongkrong, nggak makan apa-apa, sementara gerobak bakso tenda biru berjejer di belakang cafe, ya sudahlah, beli bakso aja, dengan rasa lumayaaaannn.
Memanggul kehidupan
Beberapa penjual kacang tanah dan telur puyuh rebus berkeliling dari kursi ke kursi, harganya pun terjangkau untuk orang lokal.
"Ssssttt...jangan bilang lokal, tapiii expatriate. Biar keren dikit," bisik Daud sambil senyum-senyum...gitu, emmm.

Sebenarnya...
Kami kemari menunggu penjual onde-onde, biasanya jam segini, sudah datang mengedarkan onde-onde panas, harga murah, seplastik Rp 10.000,- isi lima onde.
Sampai jam lima lewat belum datang juga....masa iye ngitung biji wijen.

Asal nama Double Six
Sejarah kenapa nama pantainya yang kebarat-baratan ini.
Kita cari tau.

Sebenarnya, nama 'Double Six' diambil dari klub malam 66 (Double Six) yang letaknya berseberangan dengan pantai, hingga masyarakat menamakan Pantai Double Six.
Sekarang klub malam itu sudah tutup, digantikan Hotel Double Six.
Pantai ini masih segaris dengan Pantai Kuta.
(Bila kita berjalan ke arah utara Pantai Kuta, kemudian Pantai Legian, barulah Pantai Double Six.)
Karakteristik Pantai Double Six sama dengan Pantai Kuta, memiliki tepian pantai yang landai, hamparan pasir putih yang luas, cuman pantai Double Six lebih bersih, maklumlah pantai ini terawat.
Bebeb dan Gerald
Baywatch pribadi
Mosoooo ke Pantai Double Six cuman mau beli onde-onde, wuahahaha aneh benerkan...
Banyak kegiatan yang  dapat kita lakukan di pantai, selain menunggu matahari terbenam sembari makan minum.
• Kita bisa berjalan menelusuri tepi pantai, apalagi sambil bergandengan mesra dengan pasangan, serasa pacalan teyuuus.
• Bermain air, atau mandi sekalian, buka aura...hehehe.
• Pemandangan yang indah, ini kesempatan buat foto-foto.
• Bisa juga belajar surfing • atau melamun tak berkesudahan, boleh juga. Bebas. 

Onde-ondeeeee
Tebak, berapa banyak wijennya...ratusan.
"Onde-ondeeee. onde-onde monday, onde-onde dapet belenjong"
Suara kemayu yang khas terdengar ngider mendatangi pembeli. 
"Kok dagangnya telat?" tanya Daud.
"Dandan dulu,Chinnnn. Belalang? " 
"Cussss, sindaaaang."

Dua plastik onde-onde kami nikmati sembari menunggu senja.
Suara pria penjual onde-onde yang manja, sayup-sayup menghilang. 
Kami menikmati kue tradisional, yang masih digemari tua dan muda, tak hilang termakan jaman.
Onde-onde berbahan beras ketan, isian berupa kacang ijo yang ditumbuk kasar, ukuran lumayan besar, rasanya memang enak sekali.
Tak heran, penjual onde-onde banyak pembeli yang menanti. Onde-onde Monday, masih hangat, ludes sekejap.
Lhaaaa kita ini, ke Pantai Double Six, cuman nunggu onde-onde, terniat bingittt kan.
Saat matahari tidur di kaki langit.
Rona jingga menghias langit dengan sempurna, siluet manusia menatap kagum. Pemandangan luar biasa, Bali memang eksotis.

Kami mengakhiri hari ini, kembali saya menemani Gerald yang susah berjalan.
"Are you okey?" 
Dia mengangguk tak bersuara, tapi saya tak yakin.
Sambil menarik nafas, kemana dua lelaki ituuuuu?
Akuuu menangis!
.
.
.
Besok kita cerita lagi ah. Bersambung ya chin.

4 comments:

  1. Hahahahah aku jd penasaran seenak apa onde2nya mbaaaa :D. Itu cemilan yg aku suka juga. Semoga bisa ke Bali setelah pandemi usai dan ngajakin anak2 ke pantai. Mereka blm prnh kesana. Aku dulu tiap THN ke Bali tp acara kantor semua. Jd jujurnya ga terlalu banyak tempat wisata yg didatangin :D.

    ReplyDelete
  2. Penampakannya onde-ondenya montoks banget seeehh? Jadi pengen gigit, hihihi

    ReplyDelete