Usai menikmati indahnya Pantai Gili Air tadi siang, kami beristirahat sebentar di Villa Karang Resort.
Sinar matahari masih tersisa selepas sore, menerobos tirai jendela.
Segera kami bergegas melanjutkan acara liburan yang sebentar.
Sambil bergandengan, kami berjalan ke arah timur melewati Darmaga kapal.
Sepanjang jalan utama Gili Air, di sisi jalan sebelah kiri, lampu temaram cafe sudah dinyalakan, pengunjung berbaju rapi mulai berdatangan untuk menghabiskan malam.
Gili Air mulai mengeliat hingga dini hari nanti.
Jalan utama Gili Air masih berpasir, belum permanen, saya lihat dari arah barat hinga timur, semua fasilitas wisata sangat lengkap dari hotel berbintang, resort, deretan restoran dan bar.
Apalagi kalau malam, suara live music terdengar di mana-mana, menyatu dengan asap barbeque.
Senyum ramah pekerja cafe (rata-rata mereka bukan orang pulau) menawarkan untuk berkunjung ke bar, restoran atau pegel-pegel, pijat juga ada.
Saling sapa, inilah kelebihan warga Gili Air, ramah sekali, sebagian mereka berasal dari suku Bugis dan suku Sasak.
Rupanya Jepang pun sampai kemari.
Di sisi timur di pinggir pantai, berdiri patung tentara Jepang menghadap laut lepas.
Karena letaknya yang strategis membuat Gili-Gili(termasuk Gili Air) digunakan sebagai pertahanan pada masa kependudukan Jepang.
Jepang memasuki Indonesia pada masa Perang Dunia ke II untuk kepentingan ekonomi, militer dan kependudukan.
Untuk lebih jelas situs meninggalan Jepang, bisa melihat langsung, gua pertahanan Jepang ( jumlahnya ada empat buah di Gili Trawangan).
Gua Pertahanan Jepang merupakan gua buatan manusia pada masa pendudukan Jepang di Indonesis anatara tahu 1942 sampai dengan 1945.
Gua berfungsi sebagai gua pertahanan sekaligus gua pengintai...nanti deh kapan-kapan kita ke Gili Trawangan.
Mahalnya Bahan Bangunan
Sebelum sampai tujuan, naluri saya bertanya-tanya. Sedang apakah ibu ini?
"Saya buruh panggul. Itu kapalnya baru datang tadi siang dari darat"
Untuk membangun rumah atau apalah, di Gili dananya harus besar. Karena bahan bangunan dibawa dengan kapal dari Lombok.
Sampai pelabuhan, buruh memanggul tumpukan karung berisi pasir (kadang juga batu).
Pasir untuk keperluan bangunan di daerah pesisir Pulau Gili, harganya Rp 1.200.000 per kubik (100 karung) atau sepuluh kali lebih mahal dibanding di Lombok daratan yang dipatok harga pasar Rp 150.000 per kubik.
Biaya tak sampai di buruh panggul saja, bahan bangunan selanjutnya diangkut lagi dengan gerobak ke tempat tujuan. Panjang sekali prosesnya kan menjadi sebuah bangunan mahal pula.
Apalagi masa sulit seusai gempa, masih masa pemulihan, namun masih kekurangan material dan tukang.
Puas ngobrol dan tanya-tanya dengan si ibu dan sekumpulan pria berotot. Saya beranjak pergi. Biasanya suami sudah tau kebiasaanya saya: suka bertanya. Dia maklum aja, banyakkan diam, kadang saya ditinggal ngopi, membiarkan sang istri(tercinta) menyalurkan hobi bertanya.
"Sudah nanyanya?"
Saya tak menyahut, hanya tersenyum.
Kemudian kami melanjutkan ke restoran untuk makan malam.
Bertemu teman baru
Begini...
.
Sebenarnya, ke restoran ScallyWags Beach Club ini, untuk memenuhi janji Akang dengan temannya di Swiss.
Nanti kalau di Gili Air, tolong bertemu dengan teman SMA yang lama tak jumpa. Jangan lupa difoto kirim ke dia via WA, tanda bukti sudah ketemuan.
Kebetulan teman yang dicari bekerja di Gili Air, dulu lama bekerja di Abu Dhabi.
Jadi kami kemari, bertemu teman baru, sekalian makan malam.
Wanita hitam manis khas wanita Mataram, tersenyum dari kejauhan, bisa ditebak pasti ini yang kami tunggu.
Namanya Luh, ia banyak bercerita tentang suka duka bekerja di Gili Air.
Setiap akhir pekan Luh pulang ke Lombok daratan untuk menengok kucing-kucing dan anjing kesayangannya di Lombok dataran, bahkan 4 ekor kucing dibawa dari Abu Dhami dengan proses Panjang dan biaya 95 juta. Demi kucing kesayangan. Luar biasa.
Ahhh...rupanya sama sama Cat dan Dog Lovers. Kalo sudah bicara perkucingan, saya langsung antusias, ngobrol nggak ada habis habisnya, lagi-lagi suami hanya jadi pendengar setia, dia bilang: saya seperti radio, ngomong terus.
Luh selalu memberi makan kucing-kucing di Gili Air. Kucing sepertinya tau, setiap Luh melintas, kucing berlari mendekat.
Tink...(otak mengulang memori)
Jadi ingat seekor kucing di restoran Villa Karang Resort.
Kucing ini mendekat, hanya duduk manis di samping kursi saya, nggak minta makan. Duduk saja, ini nih tanda kucing sejahtera, nggak kelaparan
Rasanya gemas, melihat kucing abu ini berlari ke pantai disamping saya
Dia mengendap, menunduk...mengintai burung kecil, setelah beberapa menit, dia menerkam, haaappp, sasarannya tertangkap! burung segar, dimakan dengan lahap, pantaslah badan kucing ini kekar dan kuat.
Insting aslinya masih ada, berburu
Selain itu, tutur Pramusaji Villa Karang, sisa makanan yang masih layak, mereka kumpulkan, kemudian dikasih ke kucing-kucing sekitarnya.
Pantas saja gemuk, bulu-bulunya sehat. Kucingnya pun sudah disteril, ada tanda di telinganya.
Pria muda itu melanjutkan ceritanya bahwa, ada pria Belanda yang lama tinggal di Gili Air, beliau yang membiayai steril kucing-kucing.
Ada juga, ibu manager yang bermurah hati berkeliling Gili naik sepeda, buat kasih makan kucing.
Ahaaaa...Inilah orangnya, Luh, yang diceritakan tadi siang.
Qodarullah.
Luh permisi sebentar karena ada pekerjaan, kami melanjutkan makan malam di hiasi suara debur ombak ...dengan kebahagiaan tiada tara.
Kami berpisah di simpang jalan, Luh memancal sepeda mini memasuki perkampung di dalam, di sana tinggal penduduk asli Gili air. Harga sewa kamar dan makanan lebih murah. Saya jadi penasaran. Besok pagi kami akan memasuki kawasan Dusun Gili Air
Sekarang badan ini sudah terlalu lelah...efek teu anom duei, sagala terasa.
Besok kita lanjutkan Menanti matahari terbit
(Foto-foto: Koleksi Pribadi)
No comments:
Post a Comment