Review

Saturday, December 30, 2017

Semalam di Sosrowijayan Wetan Bersama Kekasih

Tak terasa sudah tiga hari kami berlibur di kota Bandung. 
Nggak kemana-mana, cuman berburu kuliner saja, untuk melunasi rindu akang dengan makanan sunda favoritnya.
Kalau sudah begini, gagal maning diet saya. Nggak dimakan rugi, masa suami makan saya nggak, sama saja nggak menghormati suami.
Ya sudahlah, nggak usah banyak alasan, bilang aja: doyan makan.
Titik.
.
Jujur, sebenernya saya mau ngajak suami ke beberapa destinasi wisata Bandung yang lagi ngehit.
Melihat foto-foto temen di instagram, keren banget, bikin iri, lihat aja, apa nggak seru tuh, foto berayun di udara, di bawahnya, pemandangan pohon hijau dari ketinggian. Spotnya cakep bener.
Eh, baru usul.
Si akang dengan slow bilang: berani gitu di ketinggian, nanti pusing, kecapean, trus sakit, lagian, etamah menghabiskan waktu, kan pake antri.
Langsung deh, bibir saya maju beberapa senti naik ke atas. Biasanya, kalau sudah begini, pelampiasan kesel, sibuk we ngelipet pakaian, trus masuk-masukin ke tas.
.
.
Hening di antara kami.
.
.
"Kita ke Yogja aja ya, nanti pagi, mau?" rayunya dengan suara pelan, tau kali saya sebel.
Habis...Gimana  sayahhhh, mau jadi travel blogger kaya yang lain, mau kemana, nggak jadi.
Denger usul itu, mata saya langsung membinar. Langsung bersemangat.

***

Yogjakarta kami datang

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu.
Setiap sudut menyapaku.
Bersahabat penuh selaksa.
Terhanyut aku dalam nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu.
Nikmat bersama.
Suasana Yogja.

Syair lagu Yogjakarta, meletup rindu untuk selalu kembali.

Jam 6 pagi, kami sudah di stasiun kota Bandung.
Kereta api exsekutif Lodaya berangkat tepat waktu 07.15 dan tiba di Yogja jam 15.00 WIB.

15 menit berlalu.
Saya membaca kembali voucer  pemesan hotel Cordela via sebuah aplikasi untuk dua hari kedepan.
Ya Allah, saya salah menuliskan tanggal menginap,  harusnya tanggal 27, malah mundur satu hari 28-29 Oktober 2017, padahal seharusnya kami tiba di Yogjakarta tanggal 27 Oktober 2017.

"Kumaha atuh?"
"Tenang, Darling...sigana teu terang wae, urang pan mantan gaet, Kota Yogja mah sudah biasaaa."

Saya memang suka lupa kalo Akang dulu seorang guide tour
Tiba-tiba, saya ingin berkata: Saya cinta kamu, sumpah! selaluuuu bisa menenangkan saya yang dasarnya cepat cemas.
Dia bisa membuat saya berubah dari kesel menjadi tertawa terbahak.
Dia suami yang baik, menentramkan dan membuat saya nyaman.

Tenanglah jiwa ini.
Langsung kembali ngemil kuaci. Padahal sih, sadar betul, kuaci ini bisa membuat darah tinggi saya kumat, karena rasanya asin. Tapii gimana ya, enakkk sih.

Delapan jam perjalanan kereta api, jelang sore, Kereta Api Lodaya tiba di Stasiun Tugu. Sambil menenteng tas bawaan di tangan kiri dan kanan, ransel di punggung, ini mah bukan backpaker, lebih mirip mudik, pulang kampung.

Kami menyelusuri pinggir jalan raya dengan hati-hati karena areal sebelah kiri sedang direnovasi. Beberapa pagar seng pembatas, membuat jalan semakin sempit.
Panas semakin menjadi, matahari seakan beberapa senti di atas kepala, bergegas akang mengenggam tangan saya untuk menyeberang jalan menuju lokasi penginapan.

Apa masih jauh? batin saya. Nggak kuat panasnya Ternyata, lokasinya cuman 200 meter menuju tempat penginapan.
Berhenti sejenak, serombongan backpacker dari manca negara berjalan cepat mendahului kami.
"Cepet dikit atuh, Nyai..."
Ritme jalan akang harus menyesuaikan jalan istri, yang menurutnya: melehoy, lambat. Padahal menurut saya mah, jalan saya sudah termasuk cepat. Daripada berdebat, saya nurut aja bergegas mengikuti langkahnya.

"Nahhhh Darling, ini Sosrowijayan."

Kata akang, tempat ini sangat disukai turis manca negara karena letaknya yang dekat kemana-mana, khususnya stasiun besar Tugu Yogjakarta, kita tinggal nyebrang saja dan sebelah barat Jalan Malioboro, jadi tinggal jalan kaki.

Sebelum masuk saya membaca tulisan di atas gapura berbentuk melengkung : International Village, Gang II Sosrowijayan Wetan.

Kebanyakan orang-orang mengenalnya Sosrowijayan sebagai kampung Internasional karena keunikannya. Penduduk setempat dengan kultur Yogjakarta berbaur dengan budaya negara barat.

Beberapa nama tempat penginapan ditulis di papan depan gerbang, ada 15 hotel, losmen dan homestay diatas ada gambar dari berbagai negara.
Jalan beralas paving block,  berderet rumah yang sudah lama berubah fungsi, menjadi home stay, dan ada yang memang benar-benar hotel,  kelas melati.

Seorang lelaki paruh baya, mendekati kami, untuk menawarkan tempat penginapan, dengan santun kami mengucapkan sudah memesan hotel.

Kami memilih menginap di samping Sastrowijayan, hotel Krisna.
Kamar yang ditawarkan untuk dua orang, fasilitas AC, kamar mandi, free wifi dan sarapan dengan harga terjangkau Rp 250.000,- per malam.
Saya merebahkan badan sebentar, mau tidur malah nggak bisa, rasanya, AC nya kurang dingin atau karena kegerahan sangat.

Setelah sholat ashar, kami melipir ke gang dua, sekedar mencari minuman dingin.
Kekasih
Kami duduk di teras hotel Andrea, kebetulan ada dua turis asing di samping meja kami. Senyum dan saling menyapa. Lantas mengobrol dengan bahasa Jerman. Baru kenal, kok Akang bisa cepet nyambung begitu.
Saya hanya jadi pendengar setia dan menerka-nerka, ngobrol apa sih? 
Sebentar-bentar, saya melirik suami yang antusias bicara situasi dunia terkini. Hmmm, mantan 'gaet' masih menyimpan pesonanya.

Daripada jadi nyamuk, diam di antara orang yang sedang seru-serunya membahas politik, saya pun memperhatikan suasana Sosrowijayan.
Gang kecil ini, terbilang kawasan yang bersih dan rapi. Suasananya lenggang  dan tak bising, tak terlihat hilir mudik kendaraan
Ya memang sih, demi kenyamanan penduduk setempat dan turis yang menginap, ada aturan di Sosrowijayan, setiap sepeda motor yang lewat, harus mematikan mesin dan pengemudi wajib menuntun motornya.
Menjadi kebiasaan orang jawa yang sopan, sambil jalan, kepala di anggukkan sambil berucap: permisi.

Mendadak saya jadi kangen kampung. Di Jawa Barat, kenal, nggak kenal, setiap melewati orang, selalu mengucapkan kalimat; punten, sembari tersenyum manis. 
Jadi bangga sendiri, Indonesia memang luar biaya, terkenal dengan akhlak sopan santun, dimana-mana ,sama, lewat didepan orang, kontan berkata: permisii... *asal jangan sembari mengedipkan mata aja.

Soal keamanan, di sini menjadi nomor satu. Pintu kecil dari besi akan ditutup tepat jam 00.00 di ujung  gang.

Lembayung senja membias di langit sore.
Cahaya senja berwarna jingga merah saga.
Serasa kampung sendiri, tenang dan damai

Seorang ibu dan beberapa anak-anak duduk santai mengobrol di pinggir jalan menunggu senja berakhir
Perempuan muda penjual sate di kelilingi pembeli.
Tangannya terus bergerak mengipasi sate di atas arang. Asap aroma sate menyatu sempurna di gang Sosrowijayan.
Sapa yang tak tergoda, termasuk saya.
Mbak berwajah ayu ini menjual sate ayam bumbu kecap dan sate klatak

Penasaran apa itu sate klatak?

Ibu berbaju daster yang duduk di samping penjual sate, lantas bercerita tentang sate klatak.
Banyak sate di dunia, cuman sate Klatak yang ada di Yogjakarta.
Kuliner ini sangat digemari dan diburu wisatawan setiap ke Yogja.
Karena membakar sate ditempat terbuka, makanya namanya klatak atau klantak dalam bahasa Jawa.
Nama klatak juga diambil dari suara daging yang dibakar diatas bara api menimbulkan suara berisik atau kemeresek, klatak, klatak, klatak.

Aslinya sih, sate asal Bantul ini berbahan dasar daging kambing muda. Karena banyak kaum tua yang mengidap kholesterol tinggi, kini sate klatak juga dibuat dari daging ayam, harganya juga murah, 10 tusuk hanya Rp.15.000,-

Sate pada umumnya ditusuk memakai tusuk bambu,  sedangkan sate klatak, daging kambing ditusuk dengan teruji besi.
Ide, teruji besi , memanfaatkan teruji besi sepeda yang tak terpakai, juga dengan tusuk besi, daging lebih terasa lembut dan masak sampai kedalam daging. Ya pastilah, besi menjadi menghantar panas yang baik untuk pembakaran.
Saya mangut-mangut mendengarkan penjelasan Ibu tanpa diminta.

"Ini mbak , satenya.."

Aaah, sate klatak.
Sate yang sangat sederhana. bumbu cuman memakai garam (penyedap rasa)tok, tak heran, dagingnya tetap berwarna putih dan aroma daging ayan, sangat orisinil sekali...saya suka rasanya.
Dipikir, segala yang sederhana itu luar biasa, jangan suka melebih-lebihkan, contohnya sate Klatak ini.

***
Sehabis magrib, akang mengajak jalan-jalan ke Malioboro. Kami hanya berjalan kaki, karena Sastrowijayan terletak di arah barat Malioboro.

Sambil bergandeng tangan, kami menyelusuri jalan kecil yang berliuk, kiri-kanan di jalan Sosrowijayan gang dua, saya mengagumi  keindahan bangunan hotel dan homestay yang ada. Rata-rata masih mempertahankan rumah khas Yogjakarta, ukiran. Dekorasi di ding berhias wayang kulit, topeng. Perobatan di dominasi dari kayu jati dan kuno. Ada juga yang menaruh sepeda onthel di teras homestay. Aaaah...sepeda itu membawa saya ke dalam nostalgia masa kecil, ketika jalan raya Yogja di penuhi sepeda onthel dengan gadis rambut di kepang dua.

Suara alunan gamelan menyeruak dari dalam hotel,  lembut mendayu di antara temaram lampu pijar.
Beberapa ada menawarkan jasa untuk kemudahan turis seperti; laundy, money changer dan layanan jasa tour ke berbagai destinasi wisata Yogjakarta.

Melewati masjid, belok ke kiri, kami hampir sampai ke jalan Malioboro.
Kawasan Sosrowijayan malam ini, sepiii sekali, hanya beberapa turis yang menginap.
Saya dengar dari pemilik hotel Andrea tadi, Sosrowijaya sejak dua tahun lalu tak seramai dulu. Paling hanya beberapa turis asing yang menginap atau juga mungkin tak musim libur. Mereka tetap bertahan dan berhara bisnis pariwisata di Sosrowijayan berkemilau seperti dahulu kala.

Di muara Gerbang Sosrowijayan sebelah Barat, kami belok menuju jalan Malioboro.
Di pinggir jalan, deretan gerobak penjual nasi kucing. Sebagai temannya nasi, beragam sate telur, daging, ayam, tempe dan tahu bacem tersusun rapi. 
Dua ceret dari almunium berukuran besar berisi teh tawar siap siaga jika tiba-tiba keselek .
Semua makanan yang ditawarkan murah meriah, itulah keunggulan kuliner Yogja. Enak dan murah.

Jalan Malioboro
Ada yang berubah, kiri kanan jalan lebih tertata rapi.
Penjual pakaian tak berdesak-desak seperti dulu, lebih rapi. Demi  kenyamanan wisatawan yang lelah berputar, berjalan dari ujung ke ujung, kini tersedia bangku panjang dan kursi unik dari keramik berbentuk bulat di sepanjang tepi jalan Malioboro.

Untuk seni, kota Yogjakarta tak pernah ada matinya.
Patung- patung menghiasi jalan Malioboro: patung singa, ayam dan lainnya.
Maunya foto patung Ayam, makenyak....malah fokus foto istri
Suara musik jalanan terdengar dari kejauhan. Kerumunan orang-orang melingkari atraksi musik dan tari.
Kami pun mendekat, menyaksikan dua pemuda berjoget teramat  enerjik, goyang bokongnya sangat aduheiii, membuat kami tersenyum serba tanggung. Seorang perempuan berkeliling, ngider dengan topi di tangan kanan, berharap uang sekedarnya dari  penonton.

Cape berjalan, kami duduk di bangku panjang pinggir jalan Malioboro.
Tiga perempuan muda mendekati, kemudian dengan santun menawarkan bunga mawar seharga 12.000. Akang membeli setangkai mawar merah dan memberika  pada saya, oh kekasih, so sweet sekali.
Sayang, lagi-lagi lupa di foto, dasar pasangan tak muda lagi, kami lebih menikmati suasana di banding foto-foto. Liburan memang harus benar-benar dinikmati, bukan sibuk dengan hape dan kamera.

Sesuai janji waktu di Bandung.
Tak lengkap ke Yogja tanpa makan gudeg. Nggak sahhhhh.
Akhirnya, kami memilih makan gudeq Bu Djum, yang katanya paling enak.
Nasi Gudeg
Warung Bu Djum berada di jalan Malioboro. Sangking larisnya, lauknya tinggal pindang telur... Ya sudahlah, kami tetap memesan dua porsi. Dari pada nyesel plus ngeces.

Tepat jam sepuluh malam, kami kembali ke 
penginapan, kantuk tak terkira, tidur lelap untuk semalam.

Pagi pertama di kota Yogja.
Jam 06.00, sarapan belum di sediakan hotel.
Terlanjur lapar, saya berjalan ke samping.
Kebeneran, ada mbah yang jualan makanan di depan hotel.
Pakaian Si Mbah seperti umumnya wanita jawa, memakai sanggul kecil seadanya, kebaya dan jarik. Mbah duduk di dingklik tepat ditengah dagangannya yang mengitari dirinya.
Serbet kotak-kotak bergaris hitam putih di taruh di pangkuan, pincuk daun pisang di tangan kiri, tangan kanannya sigap menyajikan dagangan yang dipilih pembeli.
Bubur Gudeg
Saya memilih sarapan bubur gudeg, bubur nasi, ayam suwir, pindang telur, krecek dibancur areh diberi tambahan daun singkong rebus dan sambal. Dua gorengan tempe mendoan. Masya Allah, nikmat mana yang didustakan.

Ahh.. Yogja memang tiada duanya, selalu ingin kembali. 
Semalam di Sosrowijayan, kenang tak terlupakan. Apalagi dengan kekasih hati. 
Ahaiii...♡
Indahnya cintaaaa.
Kuaci, teman jalan  yang tak mengemukkan

Salam sayang
-Een Endah-








12 comments:

  1. Suasana tradisionalnya ternyata masih kental sekali ya, aku pernah nginep di sini jaman kuliah lho mbak dan suasananya ya begini. Beberapa kali ke Yogya gak pernah kembali ke Sosrowijayan. Btw namanya Sostrowijayan atau Sosrowijayan, Mbak? Atau dua tempat yg berbeda. Aku ingetnya Sosrowijayan.

    ReplyDelete
  2. Halo mbaaa. Aku pas ke Jogja bulan lalu juga nginapnya di kawasan Sastrowijayan. Ke Malioboro hanya jalan kaki saja dan suasananya tenang dan nyaman

    ReplyDelete
  3. Jogjaaaa
    Kota paling romantis sepanjang masa
    Memang sekarang Malioboro lebih tertata rapi demi kenyamanan wisatawan
    Baca tulisan ini langsung pengen pesan tiket kereta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayuk lah ke yogja Darius, jgn lupa bawa Dona...hehehe

      Delete
  4. Hahaha aku ngakak membaca, jadi nyamuk diantara orang yang sibuk ngobrol.. benar juga ya Mbak ketimbang jadi nyamuk mending eksplorasi kawasan Gang yang sudah terkenal cantik di Jogjakarta ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heeh....mendengung sendiri, nggak ngerti apa yang dibicarakan mereka

      Delete
  5. Sate klatak, kirain sate katak mak hehe, pengen aah nyobain g bnyak bumbu gt ya satenya

    ReplyDelete
  6. Aaaahh...Mbak En bikin saya kangen sama Gang Memory itu. Tahun 83 saya ke sana. Menu kulinerannya utk bule, kebanyakan. Saya nikmati Pancake isi alpukat ya di sini.
    Akang emang top pilihan dan perhitungannya yaa... *Lucky! :)

    ReplyDelete