Review

Saturday, May 20, 2017

Tradisi Menjelang Melahirkan di Sampit

Lelah di sore menjelang Magrib masih saya rasakan. keajaiban dalam hidup ini, bagaimana tidak, rasa sakit, tiba-tiba sirna sekejap, ketika suara tangis bayi memecahkan suasana, detik itu juga, saya sudah sempurna sebagai wanita, menjadi seorang ibu.

Jauh di lubuk hati saya, bahagia, juga sedih berpisah jauh dengan Mama di Jakarta...saya merasa sendiri sebenarnya, tapi nasib membawa saya kemari.
Saya melahirkan di  rumah mertua di Sampit, tidak di klinik bersalin. Hal baru bagi saya tapi pasrah, manut aja kata orang tua.
Bagi saya yang penting semua selamat, bayi lahir sehat.


Julah Ratna memberi kopi hitam manis, jar biar kuat waktu melahirkan, lagi-lagi manut aja.
36 jam yang lalupun (lama banget kontraksinya, kalo jaman sekarang kali saya udah dioperasi caesar) saya yang kesakitan di dalam kamar, suasananya berbanding terbalik dengan saudara yang kumpul di luar. Gelak tawa mereka saling bercerita, ngobrol seperti Cina Karam.

Istilah Cina Karam itu mengambarkan situasi kacau balau saat kapal mau karam atau tenggelam. Berteriak berlarian menyelamatkan diri. Itu Julak, marina dan antin, dingsanak Mama bakesahan, semua sibuk  ngobrol, mana yang mau didengar. Sebelah kiri dan kanan semua berbicara dan ceritanyapun berbeda, pokoknya ramaaiiii dengan gelak tawa.
Saya hanya membatin di dalam kamar, menarik nafas karena rasa sakit yang datangnya berulang, saya hanya bertanya, kenapa ramai sekali, tradisi baru bagi saya?

Tradisi beramian, membuat rumah ramai dimaksud agar tidak didatangi kuyang, hantu jadi-jadian, kepala terbang yang suka menghisab darah setiap ada yg beranak.
Hantu setengah manusia itu, bertengger di atap lalu menghisap darah dengan lidahnya yang panjang menjulur, akibatnya, ibu melahirkan akan kehabisan darah.

Selain beramian, ada juga daun jerangau, bentuknya seperti pandan berwarna hijau, berbau khas dan lebih langsing, sangat ditakuti kuyang. Tak heran masa itu sering sekali ditanam di depan rumah.
Bagi saya, kuyang sudah biasa dilihat dari kejauhan. Di malam hari, kepala itu terbang pelan melintas, ada warna merah di bawah kepala seperti api obor, itu jantung si kuyang.
Untunglah saya hanya melihat dari kejauhan, kalo deket, kali pingsan seketika, amit-amit...itu kejadian dari saya kecil di Palangka Raya Kalimantan  Tengah, entah apa masih ada kuyang jaman modern, kali udah ganti profesi.
Kembali kegaduhan yang di ciptakan saudara Mama Mertua di rumah kayu tahun 1992.

Tradisi meulur papan, tradisi membantu ibu melahirkan dengan memberi semangat untuk kuat. Acil-acil bergantian menyemangati saya, mereka mengelus kaki, tangan dan memberi perintah.

"Tarik nafasss....keluarkan."
Setiap saya kesakitan, langsung berkata, sabar, sabar, sabar lalu bersama istigfar.
Melahirkan di rumah ternyata enak juga, dikelilingi saudara, wajah yang tak asing bagi saya, memberi sugesti agar saya tak menangis (maklum baru pertama kali)

Seingat saya, waktu kontraksi awal, Mama sudah heboh mengabarkan ke dingsanak /saudara lewat telepon.
"menantuku handak beranak, lakasi ke rumah."

Tanpa komando, dalam sekejap,  mereka sudah datang seperti gerombolan lebah, terlihat sibuk, tau apa yang dilakukan sesuai tradisi.
Krett...membuka laci-laci nakas, pintu dan jendela sedikit, tak boleh ada yang terkunci atau tertutup rapat. Semua sebagai simbol agar  ibu yang melahirkan lancar pembukaannya(kontraksi) dan gampang melahirkan.

Pintu kamar depan pun beberapa hari sudah diganti hordennya dengan warna pink.
Mama mertua berharap, anak saya , cucu perempuan yang diharapkan, karena cucu terdahulu laki-laki semua.
Perbedaan budaya kadang membuat saya suka heran tapi saya cepat beradaptasi.
Kehidupan semasa gadis saya lebih dominan Sunda di banding Dayak dari ibu.
Lingkungan keluarga saya juga fanatik Islamnya tak mengenal tradisi ini itu.
Sebagai, bagian keluarga baru, saya ikutan saya, manut, siga munding dicucuk irungna.

Kembali ke cerita kegelisahan  Mama mertua.
Dari tujuh orang bumil yang konsultasi di bidan Rita, satu persatu sudah melahirkan. Tinggal saya yang lewat harinya. Semakin gelisah Mama mertua sambil bertanya tanya, kenapa jua menantu kada lakas beranak.
Beliau menanyakan cara kepada kakak tertuanya, kalau ada cara agar saya melahirkan sepecatnya, karena sudah lewat harinya.

Lagi-lagi membuat saya tak bisa membantah.
Mama Hj Saniah, menaruh mangkuk almunium hijau, di dalamnya berisi beras, satu kelapa kupas ditaruh ditengah, diberi untai bunga.
"Gasan apa,Ma?." Tanya saya.
Biar lekas melahirkan, namanya pendudukan. Saya sulit mencerna. Ya sudahlah, saya lantas berdoa kepada Allah di segerakan melahir, benar juga, Minggu pagi waktu mau duduk di beca, saya merasa sakit. Niatnya mau makan di warung Acil Jawa, ipar Mama malah setengah jalan, beca putar haluan, kembali pulang. Sungguh saya tersiksa,  duduk susah sekali... sakittt,  sekaligus lega. Jika Allah berkehendak, maka jadilah.

Saya mengalami kontraksi Minggu pagi, melahirkan ke esokan harinya...laaamaaa sekali.
Orang Sampit .mengatakan saya kembar air (ada juga kembar darah), sebelum ketuban pecah, saya mengeluarkan banyak cairan, tidak sakit sampai ketuban pecah. Beda kembar darah, darah terus dan sakit luar biasa.
Pendudukan, yang di taruh di samping  ranjang saya diambil Mama sambil tersenyum lega. Biarlah beliau percaya dengan keyakinannya.

Menunggu melahirkan, kontraksi datangnya per menit, sakitttt, nggak sakit trus sakittt lagi, susah digambarkan. Dipikir enak juga melahirkan di rumah, bisa jalan jalan kalo sakit, nggak stress lihat suara orang ngedan melahirkan, bikin saya takut. saya bisa berjalan dan nonton tivi, itu enaknya melahirkan di rumah.

"Ohh Cil, ini nah gasan pianlahh."
Mama memberikan pendudukan pada tetangga samping rumah.
"Adakah pian baisi baki seng?"
Suara nyaring Mama dengan logat Banjar yang kental terdengar jelas sedang ngobrol dengan tetangga sebelah.
Dan ini mengherankan, selama ini, katanya, hampir dua  tahun Mama nggak pernah bertegur sapa dengan tetangga sebelah.
Markonah, wanita berbadan kecil, berambut keriting, dan berbibir sumbing, kata Mama suka mencuri jemuran, jadilah genderang perang selalu memanas.
Tapiii...hari ini demi cucu yang akan lahir, Mama mengibarkan bendera putih demi baki seng.

Lagi-lagi saya membatin, buat apa baki(nampan) seng itu. Acil Markonah naik ke rumah (istilah naik karena rumahnya panggung) baki yang dibawanya, ukurannya sangat besar berwarna putih bercorak kembang mawar merah, dipinggir ada lis cat hijau. Terdengar suara bapander ke dua orang jiran yang lama tak bertegur sapa, kok bisa akrab begitu, demi cucu.

Saya juga memperhatikan, Mama melipat kain batik, tenun, songket berbenang emas, kain-kain miliknya yang terbaik. Beliau istri pegawai Bank BNI, wajarlah agak berkecukupan.
Tujuh kain dilipat disilang silang berbentuk bintang, lalu disusun diatas baki seng.
Mama menepuk-nepuk permukaan kain agar rata, wajahnya tampak bahagia, semua persiapan kelahiran cucu sudah siap.

Diambang sore, dibantu Bidan Rita, Acil Intan bidan kampung saya melewati proses melahirkan. Tak terbilang sakitnya, ibarat kata kaki satu menginjak dunia kaki yang satu mau ke akhirat, pokoknya tak tergambar sakitnya melahirkan itu. Tak tangis bagi saya, saya hanya bertekad, sayanharus mengeluarkan anak saya, baru sakitnya hilang. Benar juga, dalam tiga kali hentakan nafas, saya melahirkan dengan cepat.

Bayi perempuan 3,6 kg berkulit bersih diangkat tinggi langsung dibawa keluar kamar.
Marhaban dan shalawat terdengar saut menyahut.
"Nahhh, anakkkkk warikkkkk ." Bayi kecil itu ditaruh di baki seng beralas kain 7 tumpuk, lalu diputar-putar di ruangan rumah yang besar.

Makyutttt, anak manusia dipanggil anak warik(kera).
Sakit hati tak terima rasanya, apa daya tak bisa berbuat apa apa? Lagian saya masih belum boleh bangun.
Berlinang air mata, bayi saya cantik sekali, namanya Nisa, perempuan. Semoga kelak menjadi anaknyang sholeh seperti suara yang kau dengar dilantunkan azdan dan iqomah di telinggamu. Tak henti saya menciumnya. 
Menurut orang Sampit, menyebut anak warik, sebagai upaya menipu hantu jadian yang suka mengambil bayi anak manusia, biar kecele, karena bukan manusia, tapi anak warik.
Ada-ada saja.

Dalam kebahagiaan tiada tara, saya berhasil melewati berbagai proses melahirkan dengan normal.

Benang hitam menghias jempol kaki
Acil Intan, bidan kampung, asisten bidan Rita mengikatkan benang hitam di jempol saya. Saya diam saja ketika bidan itu bertutur, ini sudah kebiasaan orang Sampit, mengikat benang di jempol kaki, tidak ada maksud lain, hanya sebagai penanda kalau jalan harus hati-hati. Jempol kaki kalau terantuk meja atau benda keras, sakitnya luar biasa, apalagi bagi ibu baru melahirkan, bisa-bisa langsung pendarahan hebat, makanya di ikat benang di jempol.

Bidan Intan pulalah, yang datang di pagi hari untuk mandikan bayi.
Wanita tua berwajah ramah itu, lebih dulu datang ke rumah sebelum berkeliling memandikan bayi lainnya
"Mamanya harus mandi duluan, bedandan cantik hanyar mengurus bayi."
Saya memperhatikan gerakan tangannya cekatan memandikan bayi. Dari beliau saya belajar, ibu melahirkan harus terlebih dahulu mandi dan berdandan sebelum bayinya bangun, kalau tidak, bayi bangun, pasti akan repot  mengurus, alamat lusuh sepanjang hari.
Jangan kada ingatlah, En, binian biar sudah beranakan, harus tetap bedandan biar bengkeng. 
Kata-kata Acil Intan itu selalu saya ingat hingga kini, bahwa Wanita sudah punya anak harus tetap berdandan supaya cantik.

Tiga hari kemudian Mama saya datang dari Jakarta, menempuh  jarak yang jauh, Jakarta, Palangka Raya - Sampit. Dulu, transportasi sulit, jalan masih berdebu. Senangnya bertemu Mama. Beliau memeluk erat cucu pertamanya. (nanti saya ceritakan adat Dayak dari Mama saya dalam mengurus cucunya)

Mama mertua orangnya baik dan sangat lucu, itulah penghibur saya.
Bahkan ketika saya protes, kenapa puser cucunya ditabur bubuk berlian. Saya takut sekali, nanti bisa-bisa infeksi.
Mama mertua dengan santai, semua anaknya ditabur berlian, lihat aja, mukanya ganteng dan cantik, banyak yang suka. Siapa sih yang nggak suka Berlian. Saya gagal protes.

Begitu pula, kenapa harus bersusah payah mengubur ari-ari bayi dibawah pohon Mangga, ada jawabannya (nanti saya ceritakan pada postingan selanjutnya)
Alhamdulillah, puser anak comot di hari ke lima dan sehat.

Hari ke tujuh, pemberian nama bayi (tasmiyah)
Bayi kecil dihias anting, kalung, gelang kedua tangannya, satu di kaki  terbuat dari emas.
Emas menunjukan kehormatan hidup, kaya raya.
Lagi-lagi saya hanya melihat prosesi pemberian nama.
Anak diayun pada selembar kain kuning, kiri dan kanan di gantung pisang, padi dan lainnya sebagai simbol kemakmuran.
Tradisi beayun anak, bayi diayun ambil dilantunkan ayat suci Al Quran, anak terus di ayun semoga hidup berlandaskan Al Quran dan Hadist.
Prosesi Tasmiyah berakhir dengan sajian makanan soto Banjar.

Saya menulis kembali kisah ini, sambil mengenang air mata mengingat peristiwa 25 tahun yang lampau.
HJ. Saniah, beliau tetap Mama dan nenek anak saya,  sekalipun saya sudah berpisah dengan anaknya.
Beliau, tetap orang terbaik dalam hidup saya.
Semoga, Mama di Banjar selalu sehat.

Menarik nafas...senderan di kursi, nyeruput kopi.

18 comments:

  1. aku jg 30 jam mba alhamdulilah normal krn rs pro normal bahkan aku dpt support dr dokternya biar sabar nunggu pembukaannya mba.
    btw tradisinya masi kentel y mba, klo inget kuyang inget sinetron rcti dlu palasik mba y yg palanya doank ngeriii aku 😂 ditunggu cerita selanjutnya mb

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bidan kampung emang dasarnya sabar jaman dulu maha, alhamdulillah saya normal

      Kuyang nama lain di Bali, leak dan di Padang, palasik, ini ilmu yg turun temurun...
      Makasih sdh bertamu kemarin ya mbak

      Delete
  2. Aku ikut merasakan suasana di dalam tulisan ini Mbak. Banyak kata baru yang sama sekali aku belum pernah baca dan dengar. Aku ikut deg-degan Mbak. Itu bubuk berlian, berarti berliannya dibubuk ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mama punya berlia yang besar, kemudian dikerik menjadi bubuk, lalu di tabur di pusar bayi. Memang tulisan diatas bercampur dengan basa banjar...

      Delete
  3. Wah baru tahu nih Mba, kalo saya kemarin enggak pakai tradisi gitu soalnya jauh dari ortu gada yang nyiapin hihi tfs ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini tradisi lama, kejadiannya pun 25 tahun yang lalu, entah sekarang, mungkin sudah nggak ada lagi, foto fotopun masih pake kamera di kokang, makanya saya sedikit punya foto foto jaman dulu

      Delete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  5. perempuan jaman dulu emang perkasaaaa banget ya. melahirkan buat saya proses yg cukup menyakitkan walaupun semua hilang saat anak lahir. Tradisi nya ternyata banyak jg ya mbak Een

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jaman dulu...terpaksa ngikut aja..beda dgn sekarang, lambat dikit langsung SC.

      Kemajuan dunia kedokteran lebih cepat dilakukan tindakan utk.menyelamatkan ibu dan anak

      Delete
  6. Wah keren ceritanya nih mbak. Kalau ditulis jadi novel jadi kaya nuansa lokalitasnya. Memang kalau orang di daerah banyak mitos melahirkan ya.

    ReplyDelete
  7. Di aku udah gak ada tradisi lama mbak, mungkin kalo aku di tempat mbah jadi lain cerita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaaaa...beda dong dgn melahiran dgn anak muda sekarang lebih praktis

      Delete
  8. Seneng bacanyaa mbaaak jd taau tradisi lahiran di Sampit. .oiya mbak en, pasti ngeri yaa kalau liat kuyang secara langsung. Apalagi pas dia menjulurkan lidahnya sambil obor alias jantungnya kedip" wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa...seting lihatnkuyang masa itu...kepala terbang dgn lampu obor dari jantungnya. Itu biasa.bagi kami org kalimantan

      Delete
  9. Teh Een, membaca kisah tradisi menjelang kelahiran di Sampit ini, semakin terbukti kalau perempuan itu memang wonder woman. Saya suka banget yang disampaikan karena saya jadi tahu kebiasaan di Sampit. Terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perempuan itu.makluk yg terlihat lemah pdhal kuatnya luaaarrrrr biasaaaah

      Delete