Sehari semalam, saya berwisata di Pulau Pari. Mengelilingi pulau dari ujung ke ujung dengan naik sepeda mini berkeranjang, warnanya merah jambu, sungguh romantis.
Dua pasang sendal jepit warna biru menjadi saksi, seluruh perjalanan wisata Pulau Pari.
Di Pulau Pari belum ada mobil, hanya beberapa kendaraan saja, lebih banyak sepeda dan gerobak. Seharusnya, ada peraturan dilarang mempergunakan kendaraan bermesin, agar pulau ini bebas polusi, tapi keinginan warga Pulau Pari untuk memiliki kendaraan tidak bisa dibendung, bagaimanapun duitnya, duit mereka sendiri. Jadi susah dilarang. Ketakutan terbesar saya, saat mendatang, pulau Pari tak alami lagi ,suasana sunyi akan terusik dengan bising suara mesin, jalan kecil tak senyaman sekarang. Mendadak, jadi ingat kejadian kemarin sepedaan, saya harus menyempil di pinggir jalan, gara-gara ada motor lewat, ngebut seenaknya.
Di Pulau berbentuk ikan pari ini, saya puas menikmati tiga pantai; Kresek Beach, Star Beach, dan Virgin Beach.
Saya juga bahagia bisa berbincang dengan 'Orang Pulau' yang ramah, bercanda dengan teman baru, sama-sama nginap di homestay, akrab dan penuh kesan. Seru.
(Baca, Diayun Ombak ke Pulau Pari)
Walau cuman sehari semalam, bagi saya itu sudah cukup memuaskan, akhirnya kami memutuskan untuk pulang lebih awal dari jadwal rombongan wisata Pulau Pari.
"Besok pagi, ibu bisa pulang lewat rute Cituis saja," saran Pak Bidu.
"Cituis?" balik saya bertanya, baru denger nama itu, keren pula.
Eeh, Cituis itu nama Darmaga di Tangerang.
Kami sepakat nanti pagi bertemu di Darmaga Pulau Pari. Transportasi untuk jadwal pagi hari hanya rute Darmaga Cituis, sedang rute Pulau Pari-Muara Angke sekitar jam 11 siang. Makanya kami ambil jadwal pagi saja.
Pulang ke Jakarta lebih awal
Saat teman lain masih lelap terbuai mimpi, saya dan akang berlahan meninggalkan homestay menuju darmaga yang terletak di bagian depan Pulau Pari.
Udara terasa dingin, sisa hujan rintik semalam. Kami berdua, menyelusuri jalan kecil di antara rumah penduduk. Sepagi ini, warga pulau sudah memulai aktifitasnya. Menyeruak bau wangi gorengan pisang dan ubi dan sengitnya baut bakaran terasi. Bau khas yang terakhir ini, membuat saya meneguk liur, kebayang nikmatnya, sepiring nasi hangat jeung pulen,sepapan pete goreng, ikan asin japuh, lalapan bonteng ngora, dan sambal terasi...amboiii, cleguk! nelen liur lagi.
Sejak meningkatnya kedatangan wisatawan lokal ke Pulau, dapur-dapur rumah warga, sudah mengepul dini hari, sibuk menperyiapkan makan pagi dan siang untuk wisatawan yang tinggal di homestay.
Tak sampai lima menit, kami tiba di darmaga.
Lampu darmaga masih bersinar terang. Sambil menunggu kapal, Akang membeli dua gelas kopi hitam dan saya membeli beberapa gorengan untuk bekal di jalan. Tak lupa dua botol besar air mineral untuk jaga-jaga kalau kehausan. Takut seperti kemarin, kehabisan air di tengah jalan. Ini botol cukup berat juga, tapi terpaksa daripada kehausan di laut, emang mau minum air laut, asin.
Dari Darmaga, beberapa perahu nelayan merapat ke tepian, menurunkan hasil tangkapan melaut. Bau darmaga ini sungguh khas, tak sesegar pantai lain pada umumnya, wangi aroma ikan dan udang segar.
Ada beberapa wisatawan lokal Pulau Pari seperti kami, yang juga pulang pagi ini.
Pak Bidu, menepati janji, menyusul kami ke Darmaga. Sebagai menyedia jasa wisata pulau, Pak Bidu sangat baik melayani semua keperluan wisatawan yang datang. Pagi ini pun, Pak Bidu menunggu kami sampai masuk dan berangkat untuk pulang kembali ke Jakarta.
Jalur transport ke Pulau Pari bisa melalui tiga rute darmaga.
Jika ingin naik kapal cepat/speedboat bisa lewat Marina ancol, biayanya sekitar Rp. 200.000 keatas, jalur lain, melewati Muara Angke naik kapal kayu, biaya transport Rp 40.000, sedang jalur terakhir, Darmaga Cituis Tangerang, sekitar Rp. 35.000,-
Wisatawan yang datang secara mandiri, dan ingin perjalanannya lebih cepat, murah meriah, biasanya mengambil jalur Jakarta- Darmaga Citius pulang pergi. Penduduk pulau untuk belanja bahan makanan atau sekedar jalan-jalan, lebih suka mengambil jalur Darmaga Cituis , lebih cepat cuman satu jam perjalanan di banding Darmaga Muara Angke yang menempuh waktu 1,5 sampai 2 jam.
Pak Bidu, menepati janji, menyusul kami ke Darmaga. Sebagai menyedia jasa wisata pulau, Pak Bidu sangat baik melayani semua keperluan wisatawan yang datang. Pagi ini pun, Pak Bidu menunggu kami sampai masuk dan berangkat untuk pulang kembali ke Jakarta.
Jalur transport ke Pulau Pari bisa melalui tiga rute darmaga.
speedbooad di Darmaga Marina Ancol (sumber: Google) |
Wisatawan yang datang secara mandiri, dan ingin perjalanannya lebih cepat, murah meriah, biasanya mengambil jalur Jakarta- Darmaga Citius pulang pergi. Penduduk pulau untuk belanja bahan makanan atau sekedar jalan-jalan, lebih suka mengambil jalur Darmaga Cituis , lebih cepat cuman satu jam perjalanan di banding Darmaga Muara Angke yang menempuh waktu 1,5 sampai 2 jam.
Aihhh...dunia ternyata kecil
Kapal kayu berangkat tepat waktu jam 6 pagi, penumpang berdesak masuk tak sabaran mencari posisi tempat duduk yang paling nyaman.
Suasana kapal penuh sesak, saya malah kebagian duduk di atas lantai papan, penutup mesin kapal. Getaran mesin yang keras, membuat gigi gemeretuk. Ini merupakan pengalaman pertama saya naik kapal kayu kecil menyelusuri laut.
Saya melafalkan doa perjalan laut, agar terhindar dari musibah dan diberikan keselamatan sampai tujuan.
Bismillah Majraha wa mursaahaa inna robbi laghofuurur rohim
"Dengan nama Allah yang menjalankan kendaraan ini dan berlabuh, sesungguhnya Tuhanku Maha Pemaaf lagi Pengasih"
Kapal kayu ini sebenarnya kapal barang untuk mengangkut pengiriman barang Jakarta - Tangerang. Kemudian beralih fungsi, menjadi kaparl ojek angkutan penumpang. Jadi, jangan kaget jika barang-barang, sayur, mie, kecap, sepeda mini berdesakan dengan penumpang kapal.
Menempuh perjalanan laut, angin menerobos kencang. Laut tak sekencang ombak kemarin, sedikit tenang.
Duduk manis di bagian belakang kapal |
Di depan saya, bagian belakang kapal, duduk ibu-ibu berjejer rapi, berdandan cantik seperti hendak ke kondangan. Bagian depan kapal tak kalah berdesakan pula.
Saya duduk di atas kotak mesin, akang di pinggiran kapal dekat jendela. Di samping saya seorang ibu berperawakan gemuk. Pergelangan berhias beberapa gelang emas keroncong. Jilbab disampirkan di bahu kiri, untaian kalung pun menjembul. Ah, pastilah ini orang kaya, pakaiannya penuh gemerlap, batin saya.
Akang melirik memberi 'kode' ke saya. sebenarnya saya tau lirikan itu dari tadi, tapi pura-pura nggak lihat.
Husstt, bisiknya, membuat saya kaget.
Emang sih, tanpa saya sadari, saya suka memperhatikan orang. Bukan memperhatikan, tapiii memang perhiasannya rada menyolok, untung saya bukan rampok, tapi orang baik baik...*rolling eyes*
Sambil menawarkan singkong goreng yang saya beli pada beliau, kami mulai ngobrol layaknya kawan lama.
Emang sih, tanpa saya sadari, saya suka memperhatikan orang. Bukan memperhatikan, tapiii memang perhiasannya rada menyolok, untung saya bukan rampok, tapi orang baik baik...*rolling eyes*
Sambil menawarkan singkong goreng yang saya beli pada beliau, kami mulai ngobrol layaknya kawan lama.
Alahmak! 'Dunia tak selebar daun kelor'
Ternyata, ibu ini pemilik homestay yang saya diinap semalam...Duh! hilap deui, nanya saha namina.
Beliau punya dua homestay. Dhilalah, Pak Bidu itu ternyata menantunya. Semua menantunya bergerak di dunia wisata pulau. Dari penyediakan tempat tinggal, makanan dan peralatan snorkeling dan semuanya. Umumnya mereke bekerja sama dengan travel di Jakarta, merekalah yang menyediakan jasa, sistem bagi hasil.
Dua hari sekali beliau menuju Tangerang untuk membeli persediaan bahan makanan homestay. Kalau lelah, biasanya beliau istirahat di rumahnya di Tangerang. Rata-rata orang pulau, punya dua rumah, di Pulau dan Tangerang. Di Pulau anak sekolahan cuman sampai Sekolah Menengah Pertama, nanti dilanjutkan sekolah di Pulau Pramuka, dan kebanyakan anak-anak sekolah di Tangerang. Pantaslah mereka punya dua rumah. Sekalipun, kebanyakan orang pulau suku Jawa dan Bugis, mereka lebih senang di panggil orang Pulau.
Sejak pulau-pulau di sekitar Pulau seribu, termasuk Pulau Pari menjadi destinasi wisata pulau, kunjungan wisata meningkat sepanjang tahun, apalagi menjelang libur panjang dan akhir tahun...rame banget.
Untuk sewa homestay AC khusus keluarga biayanya Rp 400.000 - Rp 500.00.
Homestay non AC, bisa disewa Rp 300.000- Rp 350.000,-
Ternyata, ibu ini pemilik homestay yang saya diinap semalam...Duh! hilap deui, nanya saha namina.
Beliau punya dua homestay. Dhilalah, Pak Bidu itu ternyata menantunya. Semua menantunya bergerak di dunia wisata pulau. Dari penyediakan tempat tinggal, makanan dan peralatan snorkeling dan semuanya. Umumnya mereke bekerja sama dengan travel di Jakarta, merekalah yang menyediakan jasa, sistem bagi hasil.
Dua hari sekali beliau menuju Tangerang untuk membeli persediaan bahan makanan homestay. Kalau lelah, biasanya beliau istirahat di rumahnya di Tangerang. Rata-rata orang pulau, punya dua rumah, di Pulau dan Tangerang. Di Pulau anak sekolahan cuman sampai Sekolah Menengah Pertama, nanti dilanjutkan sekolah di Pulau Pramuka, dan kebanyakan anak-anak sekolah di Tangerang. Pantaslah mereka punya dua rumah. Sekalipun, kebanyakan orang pulau suku Jawa dan Bugis, mereka lebih senang di panggil orang Pulau.
Sejak pulau-pulau di sekitar Pulau seribu, termasuk Pulau Pari menjadi destinasi wisata pulau, kunjungan wisata meningkat sepanjang tahun, apalagi menjelang libur panjang dan akhir tahun...rame banget.
Untuk sewa homestay AC khusus keluarga biayanya Rp 400.000 - Rp 500.00.
Homestay non AC, bisa disewa Rp 300.000- Rp 350.000,-
Biaya makan, Rp 15.000 sekali makan, biasanya dihitung tiga kali.
BBQ per orang dikenakan Rp 15.000,-
Peralatan snorkeling sekitar Rp 25.000 dan sewa sepeda sekitar Rp 7000 sampai 15.000,- duh, saya jadi tau kisaran biaya di Pulau Pari. Suer! saya nggak nanya, ibu itu aja cerita sendiri.
Ibu berkulit coklat legam ini terus bercerita, saya terkagum atas usaha kerja keras mengelola usaha wisata pulau Pari. Dulu sih mereka rata-rata nelayan, sebelum ramainya wisata pulau. Sekarang, mau melaut rada takut, ombaknya tinggi cuaca tak menentu. Semakin terkenalnya Pulau Pari sebagai destinasi wisata pulau pulau Kepulauan Seribu berimbas pada melonjaknya pemasukan ekonomi penduduk pulau, serta mengubah pola prilaku mereka dari nelayan menjadi menyedia jasa wisata, untuk tetap menjaga kelestarian biota laut dan kebersihan pantai, serta ramah pada setiap pengunjung.
Lirikan ujung mata si akang seakan mengisyarakat 'kode' kesekian kali pada eikeh...emm.
"Ennn...ngobrol wae." Ih, hobby kok dilarang, mending ngobrol daripada mabuk laut, nu repot kan akang juga.
Kapal kayu ini nggak punya kamar kecil, terlihat kepanikan seorang nenek yang kerepotan cucu perempuannya ingin buang air besar. Panik, repoott, ada-ada saja.
Satu jam waktu tempuh Pulau Pari- Darmaga Cituis, botol minuman cuman habis setengah, perkiraan saya meleset deh. Perjalanan lancar.
Darmaga Cituis Tangerang
Kapal kayu mulai menurunkan suara mesinnya, laju kapal mulai melambat. Darmaga dan keramaian orang sudah terlihat dari kejauhan. Air di muara berwarna coklat keruh. Tiba-tiba mesin kapal mati, dan kami sedikit tertahan. Saya pun kaget.
"Biasa, Bu...antri keluar masuk kapal," kata Ibu menenangkan. Saya mengangguk, perjalanan kemana aja kudu sabar. Kalo nggak sabaran, hayoklah berenang aja ke darmaga...:)
Ibu berkulit coklat legam ini terus bercerita, saya terkagum atas usaha kerja keras mengelola usaha wisata pulau Pari. Dulu sih mereka rata-rata nelayan, sebelum ramainya wisata pulau. Sekarang, mau melaut rada takut, ombaknya tinggi cuaca tak menentu. Semakin terkenalnya Pulau Pari sebagai destinasi wisata pulau pulau Kepulauan Seribu berimbas pada melonjaknya pemasukan ekonomi penduduk pulau, serta mengubah pola prilaku mereka dari nelayan menjadi menyedia jasa wisata, untuk tetap menjaga kelestarian biota laut dan kebersihan pantai, serta ramah pada setiap pengunjung.
Lirikan ujung mata si akang seakan mengisyarakat 'kode' kesekian kali pada eikeh...emm.
"Ennn...ngobrol wae." Ih, hobby kok dilarang, mending ngobrol daripada mabuk laut, nu repot kan akang juga.
Kapal kayu ini nggak punya kamar kecil, terlihat kepanikan seorang nenek yang kerepotan cucu perempuannya ingin buang air besar. Panik, repoott, ada-ada saja.
Satu jam waktu tempuh Pulau Pari- Darmaga Cituis, botol minuman cuman habis setengah, perkiraan saya meleset deh. Perjalanan lancar.
Darmaga Cituis Tangerang
Kapal kayu mulai menurunkan suara mesinnya, laju kapal mulai melambat. Darmaga dan keramaian orang sudah terlihat dari kejauhan. Air di muara berwarna coklat keruh. Tiba-tiba mesin kapal mati, dan kami sedikit tertahan. Saya pun kaget.
"Biasa, Bu...antri keluar masuk kapal," kata Ibu menenangkan. Saya mengangguk, perjalanan kemana aja kudu sabar. Kalo nggak sabaran, hayoklah berenang aja ke darmaga...:)
Sebenarnya Darmaga ini bernama Darmaga Rawa Saban atau Muara Saban, Kabupaten Tangerang. entah kapan, lebih ngehit namanya Darmaga Cituis. Cituis nama sungai yang airnya bermuara di darmaga ini.
Lima belas menit kemudian, perahu kayu bisa merapat di darmaga Cituis. Kapal nggak bisa masuk ke dalam sampai tepian, jadilah saya perlu ekstra keseimbang badan untuk bisa meniti pinggir kapal yang kami lewati satu persatu.
Darmaga ini air dangkal penuh lumpur tebal, ikan kecil terlihat berenang di air berwarna coklat.
Perahu nelayan berhimpitan, kadang kalau air surut, rata-rata perahu kandas, susah keluar masuk darmaga. Apalagi kalau musim kemarau, kata Ibu, lumpur akan mengeras, penumpang terpaksa turun beberapa meter dari darmaga kayu.
Saya perhatikan (tah! hobby memperhatikan), darmaga ini memang lumpur di darmaga ini perlu dikeruk dengan alat berat, kalau tidak, arus ekonomi masyarakat, khususnya nelayan yang akan menjual hasil tangkapan jadi tersendat. Sebagai wisatawan lokal saya merasa kesusahan, habisnya waktu di jalan, cuman menunggu keluar masuk kapal yang tersendat.
Alhamdulilah, kami sampai di Darmaga Cituis Tangerang dengan selamat.
Lima belas menit kemudian, perahu kayu bisa merapat di darmaga Cituis. Kapal nggak bisa masuk ke dalam sampai tepian, jadilah saya perlu ekstra keseimbang badan untuk bisa meniti pinggir kapal yang kami lewati satu persatu.
Darmaga ini air dangkal penuh lumpur tebal, ikan kecil terlihat berenang di air berwarna coklat.
Perahu nelayan berhimpitan, kadang kalau air surut, rata-rata perahu kandas, susah keluar masuk darmaga. Apalagi kalau musim kemarau, kata Ibu, lumpur akan mengeras, penumpang terpaksa turun beberapa meter dari darmaga kayu.
Saya perhatikan (tah! hobby memperhatikan), darmaga ini memang lumpur di darmaga ini perlu dikeruk dengan alat berat, kalau tidak, arus ekonomi masyarakat, khususnya nelayan yang akan menjual hasil tangkapan jadi tersendat. Sebagai wisatawan lokal saya merasa kesusahan, habisnya waktu di jalan, cuman menunggu keluar masuk kapal yang tersendat.
Alhamdulilah, kami sampai di Darmaga Cituis Tangerang dengan selamat.
Baru keluar kapal, tukang ojek pangkalan menawarkan jasanya, sungguh membingungkan. Berebut penumpang. Belum saya pesan, sudah ditawar ojek yang lain, lalu ojek pertama komplain ke saya.
Saya cuekin aja, arah mau kemana juga saya belum tau. Hati-hati ya, bro, lebih baik woles aja, nggak usah terburu-buru naik ojek.
Merapat sebentar ke posko jaga di pintu keluar darmaga karena tempat ini baru bagi kami. Menanyakan jalan mana yang harus ditempuh..*Seperti syair lagu aja
.
Saya cuekin aja, arah mau kemana juga saya belum tau. Hati-hati ya, bro, lebih baik woles aja, nggak usah terburu-buru naik ojek.
Merapat sebentar ke posko jaga di pintu keluar darmaga karena tempat ini baru bagi kami. Menanyakan jalan mana yang harus ditempuh..*Seperti syair lagu aja
.
Perjalanan di Kabupaten Tangerang
Dengan keramahan khas Indonesia, Petugas jaga Darmaga menunjukkan arah yang harus kami lewati. Kami harus naik ojek pangkalan ke Paku Aji, ongkos Rp 20.000,- per motor.
Dengan keramahan khas Indonesia, Petugas jaga Darmaga menunjukkan arah yang harus kami lewati. Kami harus naik ojek pangkalan ke Paku Aji, ongkos Rp 20.000,- per motor.
Kami naik ojek dengan beriring-iringan. Kiri kanan jalan masih banyak sawah penduduk, maklumlah, ini kabupaten Tangerang, nggak seramai Tangerang Kota. Sebenernya yang bikin saya gugup naik ojek, penumpang nggak pake helm, bawa motornya ngebut, tukang ojek badannya lebih kecil dari saya, otomatis rasa nggak seimbang, kurang percaya diri nih naik ojek.
Perjalanan yang saya kira dekat, ternyata jauh juga, mungkin karena saya orang baru ya. Ongkos ojeknya juga murah banget. Heran sendiri.
"Buuu, sudah sampai, nanti ibu dan bapak naik Elp ke arah Pasar Baru," Pesan tukang ojek.
Paku Aji, tertulis jelas di sebuah toko pinggir jalan.
Tangerang menuju Bogor
Matahari di Tangerang terasa panas, dengan sabar kami harus menunggu mobil elp.Berdiri di samping kami, seorang pemuda rada tuaan dikit, calo angkot tersenyum ramah. Akang lantas menawarkan rokoknya...Yakok bisa langsung akrab nih Akang.
Terdengar gelak tawa akang dengan bapak itu.
"Maaf ya, Bang, bukannya gua sombong. Aku tuh! enggak suka musik dangdut, kagak tau kenape..."
si Bapak nunjukin IM3 yang selalu di bawa.
"Trus, musik apa dong yang didenger?" tanya Akang.
"Scorpion, Deep purple, Rolling Stone, Keep rock and rock aja deh, Bang. Music make you look younger and happy face. Kalo musik rock lokal sih, I like Power Band and God Bless."
Luar biasnya, si bapak hapal semua lagu. Trus, akang cerita, sebelum pulang ke Indonesia, akang nonton live music Scorpion. Bapak itu kaget tak percaya, dan senang waktu di perlihatkan video konser Scorpio dari hape Akang.... Bapak itu teranguk anguk mengikuti suara musik.
Yang membuat akang sedikit sedih, kenapa lupa nanyain alamatnya. Kan bisa dikirim baju, sedikit coklat dan keju dari Swiss.
Simple thing but make other peoples happy. It's like great rewards for me. itu kata akang, aku suka melihat orang lain bahagia. Saya jadi terharu dan kagum padanya,orangnya baik dan suka ngebodor, membuat saya selalu tertawa, menyenangkan.
Mobil Elp yang ditunggu berhenti di depan kami, langsung kami melanjutkan perjalanan. Lumayan jauh menuju Pasar Baru. Sebentar-bentar saya bertanya dengan penumpang lain, apa sudah sampai, takut kelewatan.
Akhirnya, dengan membayar Rp 11.000 per orang kami berhenti sebelum Pasar Baru, kami harus menyambung lagi perjalanan dengan naik angkot 03 menuju Stasiun Duri.
Dari pagi kami belum makan, mampir sebentar di warteg, makan bagai kesurupan, semua dibeli...puasin deh Kang, entar di sono nggak ketemu yang beginian, murah meriah,kenyang lagi. Nikmat mana yang didustakan, tinggal di Indonesia tiada bandingnya.
Kelihatan banget, kami orang baru di Tangerang ini, diangkot nanya berapa bayar ke stasiun Duri, cuman Rp 4.000,- bahkan seorang bapak mengatakan sama saya saja nanti turunnya, Bu, saya juga mau ke stasiun Duri...Duhai, ramah nian.
Ini pertama Akang naik Kereta Api Listrik Comuter Line.
Selama ini, dia hanya membaca dan melihat lewat media sosial. Dalam pikirannya, kereta di Indonesia, kotor, kumuh dan berjubel. Nah, ini saatnya nunjukin, bahwa kereta atau Comuter Line di Indonesia sudah tertata dengan baik, Stasiunnya aja sudah bersih, nggak ada penjaja makanan, pengamen dan pencopet seperti dulu.
Akang menunggu di ujung, saya mengantri membeli kartu tiket idi vending machine. Rute Stasiun Duri nanti berhenti di Stasiun Manggarai, lalu dilanjutkan ke Stasiun Bogor, kami beli tiket Rp 17.000,- per orang.
Alhamdulillah, Comuter tidak begitu ramai, kami bisa dapat tempat duduk di gerbong 4.
"Nah, ini Comuter Line, Kang."
Dia mengangguk, sambil mendengar suara mas-mas yang memberitahukan rute stasiun yang kami singgahi, gerbong comuter line terdiri dari 8 gerbong. Gerbong 1 dan 8 gerbong di khususkan untuk wanita. Bangku khusus, di utamakan untuk orang tua, difabel dan ibu hamil.
Pejalanan yang dianggap biasa bagi orang lain, bagi akang itu hal yang menyenangkan karena lama bermukim di Swiss.
Indonesia sudah banyak berubah tidak seperti dulu lagi dalam pelaksanaan angkutan modanya. Semua tertata rapi, nggak kalah dengan negara lain.
Minggu, 17 Juli 2016, Comuter line tiba di Stasiun akhir, Bogor. Wajah sumrigah dan segar anak gadis menyambut kami yang berwajah kusut kecapean dengan muka penuh debu.
Namun, di hari ini, sungguh menyenangkan, melakukan perjalanan dari Pulau Pari sampai di kotaTangerang, sekalipun saya tinggal di Bogor, baru kali ini ke Darmaga Cituis, dan melihat kota Tangerang.
Mobil melaju memutar kekanan, arah yang berlawan dari rumah. Anak gadis membawa kami ke rumah makan Jepang, untuk mengakhiri perjalanan dua hari satu malam, mabuk laut, terdampar manis di tiga pantai Pulau Pari,berayuan ombak teluk Jakarta, dan naik kapal kayu, ojek, Comuter Line.
Bertemu dengan teman baru, sayangnya, lupa alamatnya, namanya juga lupa...*merasa kecewa.
Salam manis.
-En-
Asyik banget perjalanannya, aku yang di Tangerang belum pernah ke pulau. Kapan kapan ach ke pulau Pari
ReplyDeleteHayukkk wisata ke pulau pari dari cituis...murah dn transportasi dn akomondasi sungguh terjangkau mbak
Deleteseru banget mbak een jalan-jalan seharinya, penuh kenangan yes? hehehe
ReplyDeletesalam,
ara
Iyaaa...rame. ngeri ngeri sedap
Deletepulau pari emang indah si, dan mudah dijangkau :D
ReplyDeletesalam
nia
Yuiii.terjangkau utk semua kalangan masyarakat.
DeleteSalam manis dari Bogor
Pengalaman tuh sesuatu yang gak pernah bisa dibeli dengan apa pun ya mbak :D
ReplyDeleteSalam,
Rasya
Pengalaman yg akan selalu dikenang
Deletepengalaman yang seru ya mb, senang liatnya
ReplyDeleteYuii mbak milda
DeleteNikmatnya perjalanann penuh tawa :)
ReplyDeleteBener sekali. Apa lagi dengan yg terkasih.
DeleteKalo dari dermaga cituis arah ke pulau pari jam berapa ya kalo yang pagi maaf nanya
ReplyDeleteHai kak bole hubungi aku di 085279492118 aku lg mau jjs ke Pari. Mau tnya2 kak jika berkenanš
ReplyDelete