Review

Monday, October 24, 2016

Habis Sunat, Naik Kuda Renggong.

Krungu swarane gendang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone jingkrak-jingkrak
Goyang goyang
Krungu swarane suling
Penak onok neng kuping
Penontone joget nganti ora eleng
Pokok'e joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget

Suara penyanyi live musik diiringi pemain gendang dan sound sistem melintas di depan rumah. Di dorong dengan gerobak, iring-iringan di belakangnya panjang sekali.
Dipikir ada apa, kok ramai sekali, lagunya mantap banget, sing ngiring ikut gembira.  Pokek'e joget, pokok'e joget.
Oalah... setelah saya mendekat ke pinggir jalan ternyata rombongan ngarak penganten sunatan. 

Saya jadi ikut-ikutan nyengier melihat bocah laki-laki berada di punggung kuda. Sebentar-bentar nyengir, hidungnya naik keatas, bibir miring ke kanan. 
Apa senang menahan sakit? anu-nya kejepit. 
Bisa jadi, wajahnya rada pucat. 
Aneh juga, bocah baru sunat beberapa hari sudah diarak keliling kampung dengan kuda renggong berpakaian ala Raden Gatot Kaca bagai Raja cilik, wajahnya berhias kumis dari pensil alis, hitam legam melingkar. Sebuah harapan, supaya bocah ini kelak menjadi pria dewasa pemberani segagah dan setampan Gatot Kaca.

Kuda Renggong
Dua ekor kuda tinggi berwarna hitam dan putih itu dinamakan Kuda Renggong. 
Kuda Rengong adalah kesenian Sunda yang mempertunjungan kuda yang telah dilatih agar dapat berjalan mengikuti irama musik sambil menopang penganten sunatan.

Apa bocah itu senang? sepertinya enggak, terlihat lihat meringis terus. Eh, itukan perkiraan saya aja, bisa jadi, bocah sunatan itu malah senang naik kuda rengong. 
Untuk nanggap kuda renggong keliling kampung plus rombongan pemusiknya itu dihargai satu juta rupiah. Harga yang nggak murah kan, tapi yakin, pasti kembali modal  setelah uang nyeusep dibuka setelah acara syukuran sunatan selesai nanti, bahkan bisa dapat lebih dari modal loh kalo di kampung saya, hihihi...hasil jual daging kecil bisa beli motor.

Yang mengherankan, sunatan bukan waktu libur sekolah, otomatis izin sekolah nih bocah. Kata Mama saya, itu sudah kebiasaan di desa Cikalahang, kalo ada uang buat hajad sunatan, nggak  mikir bocah libur atau tidak, pokeke laksanakan. Selesai.

"Buuu, ikut yuk"
Ampun itu tetangga di belakang rumah ikutan ngarak. Perempuan beranak dua, masih suka pula joget sepanjang jalan, baru saya sadar, ini termasuk hiburan gratis yang menyenangkan.
Iis, Mamanya Syahrini dan Udje...sst, di kampung lagi ngetern pula ngasih anak nama artis dan pemain bola, Jupe, Ronaldo, Messi, sampe geleng kepala saya.
Mamanya Syahrini

Sambil menunjukkan ke dua jari minta di foto, si Iis berhenti di depan pagar, mengusap keringetnya habis joget.

Rombongan pengarak  penganten sunat yang terdiri dari keluarga, kerabat dan tetangga berlalu, saya masih terpana melihat bocah di atas kuda tadi, berani juga, kebayang kalo kudanya ngamuk, terus jatuh, apa nggak cilakakkk... tapi tradisi ngarak bocah sunatan masih lestari hingga kini. Artinya masih bisa menghidupi pemilik penyewa kuda dan rombongan musik, yang menyedihkan, kenapa pula lagunya bukan lagu anak-anak atau kesenian lagu Sunda, malah lagu orang dewasa, dangdut koploh. Yang seneng malah orang dewasa, anak kecil nggak diperdulikan, buktinya yang gembira para pengiring di belakangnya.
Penyanyi memakai topi, cukup bahenol dengan suara lumayanlah

Sunatan, biasanya ramai di bulan libur panjang, bocah lelaki merenggek minta sunat, Di kampung umumnya usianya sekitar 5  tahun sampai 12 tahun. Sunatan termasuk dalam hukum agama Islam bagi laki-laki adalah wajib. Maknanya  pennsucian diri dan kepatuhan kepada ajaran agama. Simplenya sih, supaya supaya bersih kalo hadast kecil, wudhu jadi sah. Makanya tak heran usia mereka muda sekali, belum sunat, alamattt diejek teman. Hmmm, jadi lelaki memang harus berani, kalo ngga, jadi banci sana.

Empat ponakan saya, semua di sunat di kampung, padahal tinggal di Jakarta dan Bogor.
Rumah sunat cukup terkenal di daerah Plumbon, dr Ahmad Hasan. Tadinya cuman si Adam yang mau di sunat, malah Fauzan yang mengantar meregek mau sunat, bukan dari hati sih, tapi janji Abah, kalo berani disunat nanti belikan mobil besar pake remot. Nih klinik hebat juga, pajangan mobil-mobil yang lagi ngehit, mahal di kaca, buat memancing anak berani sunat, hadiahnya mobil.
Hebatnya di klinik Plumbon, anak yang akan di sunat, harus masuk seorang di diri kekamar sunat. Kesihan saya melihat si Daffa, masuk, antara berani dan taku, tapi terpaksa.

Sambil menunggu beberapa saat, bocah meringis keluar jalan kaki. Disini, habis disunat langsung memakai celana dalam, alat kelaminnya nggak berdarah, nggak dibalut perban, hebatkan, makanya klinik sunat ini cukup terkenal. 
Beda jaman dulu, habis sunat, diperban, buka perban juga sebuag perjuang menahan sakit, hampir seminggu nggak pake celana, cuman pakai sarung dan di taruh alat melengkung dari rotan, jadi bocah sunat mirip ondel ondel bawahnya, siksa sekali.
Beda dengan sekarang, pasien sunat dua hari sudah sembuh, bisa main sepak bola...hehehe, saya lihat ponakan begitu, macam nggak habis sunat aja.

"Daffa, gimana di dalam tadi, nangis?" tanya saya pada ponakan ke 6
"Mau nangis, tapi dokternya galak, jadi diem aja. Trus tadikan Daffa minta lagunya rock, eh malah dikasih lagu dangdut."  Ealah, rupanya si dokter nyunati sambil denger musik sesukanya sendiri.
Rombongan ngarak penganten sunat
Kembali lagi cerita tradisi  sunatan di kampung saya.
Nah ini, katanya sih,  bocah penunggang kuda, disunat pake jasa mantri yang dalam bahasa Sunda dipanggil bengkong. Disebut bengkong karena menggunakan alat yang terbuat dai sembilu bambu. Alat dari bambu itu tengahnya diberi lubang untuk mencapit dan memotong ujung alat kelamin anak yang disunat. Umumnya, bengkong jaman sekarang, tidak lagi mengunakan sembilu, karena sembilu hanya khusus bagi yang patah hati...seperti syair lagu, 'hatiku tersayat sembilu'...hehehe, bengkong sudah memakai alat yang lebih modern dan steril. 

"En, nanti datang ke rumah di Blok I, syukuran sunatan. Mama titip uang nyeusepnya," perintah Mama sambil memberikan amplop berisi uang. Sebenarnya, suer,  saya nggak kenal shohibul hajat. Selama di kampung saya selalu mewakili Mama ke Walimah, bisa dipastikan saya susah menolak empal gentong, tahu kareh, gagal lagi deh diet eikeh.

Sedikit tersadar, lalu kembali memperhatikan ngarak penganten itu, semakin jauh tapi suara musik terdengar jelas.
Sudahlah, En, nggak usah mikir, pokoke joget, pokeke joget...hahaha, nikmatnya hidup di desa.

Masih di desa Cikalahang.
Siang terik aduheeee.








4 comments:

  1. Seru ya mb, kalau berkesempatan lihat acara seperti itu...kalau di daerah saya sepertinya ga ada pengantin sunat diarak gitu..paling ada acara semacam pawai kalau pas acara bersih desa atau ada acara kesenian khusus..lucu sih, mskpn cuma senang jd penonton..kalau ikutan pawai ya pasti mikir seribu kali..hihi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di desa Cikalahang, semua.masih lestari,berbagai tradisi budaya seperti Obrok, ngobeng dan seperti ini ngarak penganti. Semua saya tulis di blog saya. Makasih sudah bertamu...

      Delete
  2. Semoga nggak hilang, budaya ini yaa...:) Seru!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga tetap lestari, kecuali anak sunatan dilain jaman minta diarak naik Ferari...aduh, pingsanlah emaknya, mahalll

      Delete