Review

Thursday, April 14, 2016

Sandung, lambang cinta seorang anak

Hari terakhir berkunjung ke Palangka Raya, awal Maret 2016. Sebenernya, rada kecewa, salah pesen tiket pesawat, kenapa nggak pulang menunggu tanggal 9 Maret, ada Gerhana Matahari Total yang melintas di 12 kota di Indonesia, termasuk Palangka Raya. Jam 01.00 WIB, saya sudah janjian dengan Mang Helmy, supir bandara untuk dijemput pakai mobil taxi biru, jauh dekat Rp. 85.000, nggak pake argo. 

Masih ada waktu lima jam lagi, ada satu oleh-oleh yang harus dibeli, pesanan dari kakak saya, Ida Chandra. Sebagai lambang kasih sayang sesama saudara, saya bela-belain ngebut naik motor ke pasar besar untuk membelikan wadai bebingkaan dalam keadaaan fresh baru diangkat dari loyang. Naik motor ke arah pasar besar jam sembilan, panas matahari bersinar terang, puanas. 

Sebelum belok ke arah kiri, saya ingat betul, dulu sewaktu kecil ada gedung bioskop Pahandut. Demi nonton film warkop Dono Kasino Indro, kami secara rombongan naik pick-up pergi ke bioskop. 
Ada dua bioskop di Palangka Raya, Bioskop Palangka di bundaran besar, dan bioskop Pahandut sebelum ke arah pasar. 

Sekarang gedung biokop itu sudah berubah jadi pertokoan. Diseberang pertokoan berdiri Taman Masyarakat Kalteng atau Sandung jalan Murjani. 
Sandung dan Sapundu  Ngabe Sukah Palangka Raya
Penasaran. 


Lalalaa...sepiii, langsung saya parkirkan motor. Pagar besi berwarna hitam, ada pintu masuk, tak terkunci. Masuklah saya sambil berucap, permisiiii.

Hening.

Iyaaa, saya jawab sendiri.
Kalau patung yang menjawab, apa saya nggak kaget mati berdiri.
Taman masyarakat Kalteng ini, dikelilingi patung beton berpakaian adat dayak.
Patung keluarga Dayak, cukup dua anak saja...slogan.
Keperkasaan dan keberanian lelaki Dayak, Isen Mulang

Tak ada orang tempat bertanya, saya foto-foto sebentar. Lihat bateray hape sudah hampir sekarat...ahhh, mati gaya! 
Sandung (taman masyarakat Kalteng)
salah satu destinasi wisata Palangka Raya

Sandung, bangunan kecil yang sudah saya kenal sedari kecil. Umumnya terbuat dari kayu yang sangat kuat, seperti kayu besi(ulin), semakin lama, terpapar matahari dan hujan, tak ada pengaruh, takkan rusak. Semakin tua, kayu besi semakin kuat. 

Sandung, biasanya ditaruh di tempat terpencil sulit dijangkau. Bangunan kecil memakai pantar(tongkat) diletakan jauh beberapa meter kurang lebih 10 meter dari tanah. Hal ini agar menghindari pencurian dari orang tak bertanggung jawab, di dalam sandung banyak ditaruh barang berharga bersama tulang belulang yang meninggal. Semua barang berharga milik jenazah yang di Tiwah ikut serta untuk dibawa ke nirwana. 

Tidak ada tempat untuk bertanya di taman masyarakat Kalteng, akhirnya saya inbox teman SD sampai SMA, Parada Ldkr, beliau pemuka adat Hindu Kaharingan sekalikus Ketua Majelis Hindu Kaharingan. Agama Hindu Kaharingan, agama helo(dulu) masyarakat asli suku Dayak Ngaju.

Saya bertanya, apa ada tulang belulang di dalam sandung jalan Murjani.

Parada menuturkan dan bercerita, ada tulang belulang, makanya di sebut Sandung Raong.
Tongkat penyangga (pantar) sandung sangat pendek, dan dibangun atap. Berbeda dengan sandung yang ada di Kuala Kurun. klik disini

Sandung ini milik tokoh Dayak  Pahandut yang sangat disegani, namanya Ngabe Sukah. Tak banyak yang saya ketahui tentang sosok Ngabe Sukah. Makna dari Sandung, dilambangkan sebagai bentuk kasih sayang anak kepada orang tuanya, tetap dirawat dari hidup hingga mati. 

Dalam Agama Hindu Kaharingan, upacara ritual tiwah merupakan rukun kematian terakhir.
Setelah dimakamkan beberapa lama didalam tanah seperti umumnya jenazah. Setelah biaya terkumpul dan ditentukan hari baik, maka dilaksanakan upacara Tiwah, ritual umat Hindu Kaharingan. 
Dengan mengali kembali kuburan, dan mensucikan tulang belulang jenasah. Prosesi terakhir rukun kematian dengan memasukkan tulang belulang kedalam rumah kecil yang disebut sandung. 
Prosesi ini, adalah akhir perjalanan seseorang menuju alam terindah, lewu tatau(surga), negeri para arwah dan Ranying Hatalla Langit.
"Lewu tatau habaran bulau. Habusung hintan, hakarangan lamiang
yang artinya: Negeri yang kaya raya. Banyak mengandung emas, intan dan batu marjan."
Negeri terakhir, tujuan setiap manusia yang hidup di dunia.

Dalam satu sandung bisa diletakkan beberapa tulang belulang anggota keluarga secara bersama.
Disisi kiri dan kanan sandung, diletak sapundu, yaitu patung kayu yang dipahat berbentuk manusia. Sapundu dipercaya sebagai tangga menuju nirwana. Jumlah sapundu untuk setiap jenazah keluarga adalah dua buah. 
Sapundu di letak ke arah barat, ke arah matahari tenggelam. Hal ini melambangkan, berakhir sudah usia dan kehidupan manusia di bumi, seperti matahari yang tenggelam.

Saya pernah cerita, melihat langsung upacara Tiwah waktu Kuliah Kerja Nyata di Benao. Muara Teweh. klik di sini

Ada hal yang selalu membuat hati saya perih. Cara membunuh hewan korban. 
Kerbau diikat di tiang Sangka raya,
ujung tombak siap menusuk kearahnya (dok: Parada Lkdr)

Kerbau diikat di tiang Sangkaraya di tengah lapangan. Diatas tiang sangkaraya, diletakkan sapundu. Jika patung sapundu perempuan, maka hewan korban dipilih kerbau jantan, sebaliknya jika sapundu pria, maka kerbaunya betina.

Kemudian dibunuh dengan cara ditombak. 
Sedih melihatnya, berlari-lari menahan sakit dengan luka yang mengangga. 
Roboh... (Dok: Parada Lkdr)

Darah mengucur disertai sorai penonton, diikuti robohnya sang kerbau. Pilu...tapi tak bisa berbuat apa-apa. 

Ada lagi, yang membuat hati saya teriris, mendengar jerit kesakitan, babi-babi dimasukan dalam karung goni besar. Ujungnya diikat kuat dengan tali. Dalam karung sempit, lengking kesakitan nyaring melengking, ketika pangkal kapak tepat dipukulkan di tengkorak depan babi itu. 

Nyeri...itulah, susahnya saya kalau melihat proses penyembelihan, eh! pembunuhan hewan korban. Nggak tega... pasti saya akan pergi sejauh-jauhnya. Sekalipun jerit sakit babi dan lenguh kerbau masih terdengar. Maaf, jika tidak sepaham dengan saya. Memang, dalam prosesi upacara Tiwah, memerlukan banyak biaya tenaga. 

Kibaran bahalai dan kain kuning tanda dimulai Tiwah, dan robohnya binatang-binatang persembahan. Semua sebagai lambang kasih sayang kepada orang tua yang telah mendahului. Berapapun biaya, akan diusahakan dan kewajiban seorang anak. 

"En, ingin lebih tau keunikan upacara Tiwah, datanglah ke Palangka Raya di bulan sembilan nanti, kami akan meniwah almarhun ibu kami," tawar Parada. 

Insya Allah, jika ada waktu dan kesempatan. Apalagi kalo di ongkosin secara gratis...#Mau pake banget..hehehe. 
Puas menikmati patung-patung yang mengitari sandung taman masyarakat Palangka Raya. Saya kembali melanjutkan tujuan utama hari ini, membeli wadai bebingkaan. 
Wajah cape tapi senang....
Sampai jumpa di cerita perjalanan lain.


















12 comments:

  1. Aku jadi ikutan sedih baca cerita tentang Kerbau dan babinya.. :( Menarik sekali tapi tulisannya.. Makasi infonya ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah, yang membuat saya tak kuat mengikuti acara adat. dan dilatar belakangi jerit kesakitan itu pula, yang membuat saya menyayangi semua satwa

      Delete
  2. aku juga mau diajak mba hehee..
    tapi tega ngga ya aku kalo ngeliat disembelih begitu :(
    anyway thanks for sharenya ya mba een

    ReplyDelete
    Replies
    1. Insya Allah, kalo ada rezeki pasti bisa jalan ke kalimantan, masih di Indonesia ini...semangat!

      Delete
  3. Serem amat yak sapi dan babinya kasian hiks :(

    ReplyDelete
  4. Kasihan sekali mbak mendingan jangan di tombak, kalo di tombak sakitnya akan bertambah tuh kerbaunya, mendingan di sembelih saja biar sakitnya sekali saja mbak ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Disembelih, sekali tebas mempercepat kematian sebenarnya lebih baik

      Delete
  5. Dari nggak sengaja, bisa jadi satu cerita.
    Tapi, kasihan juga hewan-hewan itu. Kalau udah adat, memang susah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seharusnya cara penombakan bisa diikuti sesuai jaman, biarkan kerbau diikat, tapi disembelih dengan cara yang wajar

      Delete
  6. Semoga akan ada pencerahan satu saat ya, agar penyembelihan hewan tidak menyakitkan

    ReplyDelete