Sunday, February 7, 2016

Telisik Jejak Sang Naga, Vihara Dhanagun, Bogor


"Kiri..."teriak saya, bukan lebay, takut supir angkot jurusan 02 Bubulak-Sukasari, bablas stopnya. Segera saya membayar Rp 4.000,- jauh dekat sama saja ongkosnya, sayapun berhenti dengan lega, terus terkesima sendiri. Ya ampun...kemana aja eikeh selama ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di Jalan Surya kencana ini. Bangunan pertokoan dicat dengan warna menarik, tidak kusam lagi. Kaki lima diatur lebih tertib berjualannya. 

Daya tarik lain di tahun 2016, Pemerintah Kota Bogor membangun  gapura besar, berwarna merah menyala, tertulis Lawang Surya Kancana. Jalan Surya Kencana sangat terkenal sebagai surga wisata mulut, jajanan murah meriah, kuliner kawasan pecinan disini sangat menjanjikan, kenyang di perut, ringan di kantong, percayalah. 


Di kedua sisi lawang Surya Kancana, diletak patung batu singa  dengan posisi duduk. Singa jantan di sebelah kiri dan singa betina di sebelah kanan.


Smile...Manis sekali

Yang menarik, patung singa yang sangat berbeda, biasanya Singa terlihat garang, ini amboiii nian...ada lekuk senyum manis dibibirnya. Benar-benar, begitu hangat menyambut saya yang terkesima di sisi singa manis. 

Berbaju putih bertopi merah jambu, saya bermaksud jalan-jalan ala backpackers with Jakarta Corners, temanya mantaf banget;  Telisik Unik Jalur sang Naga. Tujuan pertama Vihara Dhanagun, Bogor Tengah. 
Klinik yang terbuka untuk umum

Sebenarnya, saya sudah sering lewat vihara ini, maklumlah sudah jadi warga Bogor, tapiii, cuman lewat doang, tujuannya mau ke Pasar Bogor yang memang letaknya bersebelahan. Saya nggak pernah masuk, walau pingin banget, karena dengar-dengar, didalam kawasan vihara ada klinik Karuna, yang katanya, biaya berobatanya terjangkau untuk semua kalangan masyarakat. Rupanya baru kali ini punya kesempatan berkunjung ke Vihara Dhanagun (Sabtu, 6 Februari 2016) 

Tiba pintu vihara, saya malu sendiri. Maenyak! eikeh salah kostum, bro. Yang lain memakai baju warna merah, eikeh malah putih. Mau balik lagi, nggak sempat, dimaklumi saja, emak suka lupa...*untunglah, topi ada unsur merah walau merah jambu, jadi yaaa ada juga seragamnya...*Menghibur diri, gagal kostum sih*

Vihara Dhanagun, merupakan cagar budaya di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor. Vihara atau klenteng  ini yang sudah lama berdiri sebelum Indonesia merdeka, sekitar tahun 1740.
Nama lengkap vihara Dhanagun  adalah vihara Mahacetya Dhanagun,  lebih dikenal juga sebagai klenteng Hok Tek Bio yang berarti Tempat kebijakan Dewa. (Hok= Dewa, Tek=kebijakan, Bio=tempat). 

Vihara Dhanagun merupakan tempat ibadah tiga agama, disebut Sam Kauw, yaitu Budha, Tao dan Konghucu (Konfusius).  Namun menurut pengurus Vihara, nggak menutup kemungkinan etnis Tionghoa yang beragama lain, juga melakukan ritual sembahyang di vihara ini. Terbuka untuk siapa saja yang mau sembayang atau berkunjung sejak jam 07.00 pagi hingga 18.00 WIB.

Dari segi arsitektur dan ornamen, bentuk bangunan vihara bergaya khas Cina dengan warna didominasi yang merah menyala, orang Tionghoa percaya warna merah membawa Hong, kegembiraan, kesejahteraan dan kebahagian, itu ditandai diatas wuwungan terdapat dua burung Hong yang saling berhadapan.


Masuk melewati gerbang, terdapat halaman yang cukup luas dan terawat bersih, serta terdapat pemandangan memukau di ukiran dinding vihara. 

Legenda Sun Go Kong, saya suka nonton filmnya di televisi. Sun Go kong beserta ke dua tokoh saudaranya, Si Wu-Cing dan Si muka Babi Tie Pat Kai, rela berjalan bersama demi mengantar Sang Mahaguru, Biksu  Tong Sam Chong untuk mendapatkan kitab suci menuju ke arah Barat, Di dinding sisi lain, terukir legenda dari dinasti Tang di Cina yaitu legenda 8 Dewa.

Sebelum memasuki pintu viraha, di kiri dan kanan terdapat dua tungku pembakaran kertas yang dipercayai setiap nominal kertas yang dibakar akan terwujud kertas di dunia lain, demi kesejahteraan leluhur.




Pagi ini, saya melihat beberapa pengurus vihara sibuk mempersiapkan dua hari jelang perayaan Imlek, seperti membersihkan lokasi, memasang tenda di halaman vihara, untuk menyambut para pengunjung yang akan sembahyang.



Bau hio dan nyala lilin merah, serta puluhan pelita kecil berwarna keemasan, berderet rapi di sisi kiri. Pelita di dalam gelas berisi minyak yang diberi sumbu tertata dengan kertas kuning penanda sang nama pemiliknya, nyala cahaya syahdu dan semarak.



Mata saya tertuju pada deretan lilin-lilin berukuran besar yang dijejer di depan meja pengurus vihara. "Ini apa, Pak," 
Pertanyaan saya rada aneh memang, jelas lilin kok nanya, maksud saya nama lain dari bahasa Cina. 
"La zcu" jawab Pak A Yung, pengurus vihara berperawakan kecil nan ramah, ia mulai bercerita siap menjawab pertanyaan yang bagai badai.

Lilin besar ini akan dijejer besok hari Minggu, di halaman vihara. Baru saya tau, bahwa harga satu kati la zcu dihargai Rp. 20.000,- bayangkan saja, lilin yang saya lihat seberat 200 kati, hitunglah sendiri. Lilin terbesar bisa sampai 1.000 kati. 
Sambil duduk di samping meja,sembari memperhatikan Pak A Yung yang menjawab telepon, rupanya masih banyak yang memesan lilin untuk menyambut Imlek. Lilin ini bisa dipesan melalui Pak A Yung, atau dibawa langsung datang oleh pemiliknya yang rata-rata keluarga atau pengusaha sukses etnis Tionghoa. 
Lilin besar di beli langsung di pabrik di daerah Cikereteg Ciawi. Lilin-lilin merah raksasa ini harus sepasang. Pantaslah di depan lilin di tempel nomor 1 dua pasang, nama pemilik dan doa yang diharapkan. Besok, jelang malam Imlek lilin-lilin akan dinyalakan sendiri oleh pemilik pada saat ritual sembahyang, tepat pada malam sembahyang tahun baru (Cap Ji Gwee Ji Kao) hari Minggu, 7 Februari 2016, jam 22.00 hingga selesai, hingga puncaknya Perayaan Tahun Baru Imlek 2567 (Cia Gwee Ce'it), Senin, 8 Februari 2016.

Dengan lilin yang banyak ini, kalau dinyalakan semua, nggak takut kebakaran.
Pak A Yung langsung tertawa renyah, "Yaaa nggak dinyalakan terus, paling sampai tanggal 20-an Sehabis itu terserah pemiliknya, lilin mau dibawa pulang kembali, dan dinyalakan di rumah, atau tetap disini," Memang ada biaya nyala, dinyalakan terus biaya sebesar Rp. 500.000,- kalau nyala lilin sebentar, terus dibawa pulang, biayanya lebih murah.
Pak A Yung menunjukan foto vihara Dhanagun di masa lalu

Pak A Yung menjelaskan, lilin merah mengandung filosofi, bahwa Lilin memiliki keteguhan jiwa, konsisten, bersih dan suci serta rela berkorban, bersedia membakar dirinya untuk menerangi dunia. Dari makna simbolik lilin tersebut, hendaknya manusia, harus 'rela berkorban' menjalankan kehidupan dengan ikhlas seperti sebatang lilin.

Semakin besar ukuran lilin, diharapkan semakin besar pula, doa dan harapan terkabul, mendapat banyak rezeki dan berkah. 
Semakin besar lilin, juga menunjukkan status sosial pemiliknya.
"Masa sih orang berduit, lilinnya cuman setengah kati. Malu dong," kata Pak A Yung, pria asli Bogor, Bantar Peutei ini tersenyum ramah. 

Lagi-lagi saya bertanya yang rada aneh, saat melihat mangkuk besar di altar utama. Itu mangkuk  berisi minyak goreng ditengahnya terdapat sumbu kecil yang nyala. Dipilih minyak goreng karena lebih aman dipakai, sekalipun pelita dinyalakan sepanjang hari, akan tetap bersih, nggak berbau dan nggak berjelaga, apa jadinya kalau memakai minyak tanah, bisa-bisa habis sembahyang, lubang hidung hitam semua. Saya manggut-manggut sendiri, spontan memegang lubang hidung.
Lampion merah di atas altar

Selain lilin, pernak pernik lain yang sangat menonjol menyambut Imlek, hadirnya lampion merah yang mengantung di langit langit vihara, khususnya di depan ruangan altar kedua, altar Dewa Hok Tek. Deretan lampion, saya perhatikan tenyata, ada kertas diujungnya. Oh, itu nama pemilik lampion yang turut pula menyumbang untuk Imlek.

Ada dua altar di vihara ini, altar utama merupakan tempat Dewa yang wajib disembah, yang letak di depan pintu masuk, hanya sedikit ornamen karena melambangkan Tuhan yang Maha Es(Tien), sedang altar ke dua, terletak didalam, tempat leluhur. 

Ada tiga altar untuk tiga dewa : 
Altar Dewa Hok Tek Tjen Sin sebagai Dewa Tuan Rumah

Terletak di tengah altar Dewa Hok Tek Tjen Sin (Swa Pekong), Dewa Bumi, yakni Dewa kebajikan atau kebaikan merupakan Dewa tuan rumah di vihara Dhanagun.
-Altar dikiri dan kanan untuk Dewa  Kwa Sheng Tee Kun Kong, Dewa Kesetiaan dan kebijakan serta Dewa Kwan She Im Pho Sat , Dewa welas asih. 
Di depan altar terdapat meja besar memanjang, yang menghampar tertata rapi,  buah jeruk simbol keberuntungan, buah apel bertanda kesehatan, gula-gula dan kue keranjang(bulan) bermakna agar lebih erat dan harmonis, serta ikan bandeng, ayam dan daging babi.

Sejenak saya memperhatikan, seorang ibu yang sibuk sembahyang, membakar hio, dan menancapkan hio di hiolo di sebelah kiri dan kanan altar. Wanita itu begitu khusus memanjatkan doa dan harapannya di tahun Monyet Api ini.

Altar Eyang Raden Surya Kencana

Di Vihara ini, terdapat altar Embah Bogor, terletak di sebelah kanan Vihara, masuk sedikit, terdapat pohon besar dan disampingnya terdapat altar yang dipersembahkan untuk Eyang Raden Suryakencana Winata Mangkubumi, leluhur orang Sunda, ini sebagai bukti, penghormatan etnis Tionghoa kepada karuhun Sunda tempat mereka tinggal.

Telisik unik jalur Sang Naga mengunjungi vihara Dhanagun selesai, dilanjutkan ke vihara kedua, di daerah pulo Geulis, vihara tertua di Bogor yaitu Vihara Mahabrama (Pam Kho Bio).
Siapkan kekuatan kaki, untuk berjalan naik dan turun. Siappp!!! *tau deh realitanya, saya kuat apa nggak ya?

Tak lupa saya ucapkan:
Gong Xi...Gong Xi. Xin Nian Kuai Le. 
Selamat Tahun Baru Imlek 2567.
Senin, 8 Februari 2016


Alamat Vihara Danagun
Jalan Surya Kencana No.1
Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah.Bogor-Jawa Barat.  

"Tulisan ini diikutsertakan dalam Imlek Blog Competition Jakarta Corners" 

Sponsor by Batiqa Hotels

#TelisikJalurNaga with Jakarta Corners




















11 comments:

  1. wooow lengkap banget mba tulisannya dan membawa kenangan, pengen rasanya kembali ke sana dan menelisik Jalur Sang Naga :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masaiya tho, dik. Nggak kerasa nulisan...hahaha, kapan-kapan jalan jalann lagi ke situs petilas dan cagar budaya

      Delete
  2. Selalu menikmati cerita perjalanan yang menarik dari anda. Singanya memang beda dengan singa-singa yang biasanya ada di Chinese Temple. Ada cerita mengenai asal muasal kata singa dalam bahasa Chinese. Konon kata 獅 (shi menurut laval pinyin) itu berasal dari bahasa Persia شير (sheer)! Sudah saya check dengan teman yang berasal dari Iran. Foto ke 6 dari atas (ada 2 papan bertangkai yang ada aksara Chinesenya, dan 3 tongkat), dari film-film Kungfu yang pernah saya lihat, itu merupakan perlengkapan di kantor pengadilan China zaman baheula, yang paling kiri perintah "be quiet", dan yang di sebelahnya adalah perintah "minggir"! Apakah pakai camera di cell phone? Bisanya foto-foto anda tajam, kok kali ini agak kurang tajam?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, saya kemarin nggak sempat tanya, artinya plang merah di depan pintu itu, ternyata perlengkapan Pengadilan Cina masa dahulu.

      Iya nih, gambar buren,lha make ceel phone, kamera Nixon nya rusak bateraynya.

      Delete
  3. wah,, saya kemarin terlambat di dhanagun jadi banyak terlewat infonya... tapi terobati setelah baca postingan ini... semoga beruntung mba een endah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih doanya ya. dan senang sekali jika postingan ini bermanfaat untuk semuanya

      Delete
  4. Sukses lombanya, mba Een.
    Ngobrol sambil makan lotek lagi kitahhh :D

    ReplyDelete
  5. Semoga sukses, mbak... tulisannya bagus.

    ReplyDelete