Selesai berkunjung ke Vihara Dhanagun, selanjutnya telisik unik jalur Sang Naga menuju ke vihara terakhir, Vihara Mahabrahma. Konon walau vihara ini bentuk bangunannya lebih kecil dan terpelosok, menyimpan banyak sejarah.
Wah, langsung saya penasaran, seunik apa sih?
"Siap-siap jalan kaki, ya Mak, ini agak jauh."
Yailah, siap jalan. Ala-ala backpackers mah biasa aja keles. Gaya saya sih boleh, tau deh realitanya, hanya bermodal semangat ingin tau, dan modal macam wisatawan gitu deh.
Tutut, oh Tutut |
Rombongan mulai bergerak melewati Pasar Bogor. Pasar tradisonal jalannya rada becek, disertai pemandangan, sebaskom tutut, keong sawah nan mengoda. Sempat sih nanyai harga sekilo Rp. 7,000,- Mau beli terpaksa di tunda, masa piknik nenteng kresek tutut, ini mau masak, apa jalan-jalan. Ya sutralah, lupakan dapur sehari ini. Bye-bye tutut.
Belok ke kanan, barulah melewati Jalan Roda. Di sinilah kawasan pecinan itu, banyak warga keturunan Tionghoa tinggal dan berdagang. Rumah-rumah dan tokonya juga masih model lama, tapi kuat dan oriental banget.
Nah loh, rombongan berhenti sebentar, siap-siap jalan menurun kebawah. Ada Plang situs Pulo Geulis kelurahan Babakan Pasar. Oke, siap meluncur. Sampai di ujung jalan, nyaring terdengar ada yang melantunkan ayat- suci Al Quran dengan merdu. Ternyata, ada hajad akad nikah, untung eikeh nggak ikut nimbrung makan disitu.
Plang nama Pulo Geulis dan jalan yang naik turun |
Setelah berjuang tetap bergerak, akhirnya lokasi yang dituju sampai juga.
Hiolo besar berkaki tiga di depan klenteng Pan Kho |
Di kawasan perumahan padat penduduk, terdapat sebuah vihara. Dan membuat saya terkagum-kagum melihat Vihara Mahabrahma ini, kondisinya bersih dan terawat, sekalipun halamannya tidak luas. Bangunannya pun tak biasa, dinding di cat putih, umumnya vihara-vihara di dominasi cat merah dan emas. Ini sangat berbeda, warna emas dan merah hanya berhias pada ornamen lis kayu saja.
Seperti vihara pada umumnya, terdapat dua tungku/ pagoda pembakaran kertas(Kim Lo) di kiri dan kanan halaman vihara. Hiolo berkaki tiga dalam ukuran besar, diletakkan tepat di depan pintu masuk. Ada pula hiolo kecil dikiri vihara. Hiolo adalah wadah terbuat terbuat dari kuningan untuk menancapkan hio atau dupa yang dibakar saat ritual sembahyang.
Nyala Hio di Hiolo kuningan |
Singa Batu berpita merah...ramah nian |
Yang menarik disini, ada sepasang singa batu kecil penjaga viraha, wajahnya tampak tersenyum manis dengan kepala menekuk ke kanan, seakan siap menyambut siapa saja yang datang. Ada pita merah digantungkan, sebagai perlindungan dalam menghalau pengaruh negatif yang datang. Saya pun tak lupa berdoa dengan mengucapkan Bismilah, semoga saya selalu dalam perlindungan Allah.
Eitttt, lagi-lagi, saya takjud.
Harus lepas sepatu di sini, serasa masuk masjid. Lha tadi, masuk Vihara Dhanagun, main selonong pake sepatu, ini kudu lepas sepatu.
Takjud ketiga, lagi-lagi takjud.
Di dalam ruangan vihara, petugas bukan etnik tionghoa saja, tetapi banyak pula orang berwajah pribumi. Penasaran kan? Iyes! saya juga.
Banyak hal yang membuat terpesona saat masuk ke dalam vihara ini.
Vihara Mahabrama dikenal sebagai klenteng Pan Kho Bio terletak di Pulo Geulis, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, masih satu kecamatan dengan Vihara Dhanagun.
Ruang utama vihara tak begitu luas.
Batu petilasan karuhun orang sunda, |
Saya pikir, petilasan ini, terdapat makam Mangun Jaya, ternyata tidak. Embah Raden Mangun Jaya berasal dari Kerawang, dan makamnya berada di Rengas Dengklok, Jawa Barat.
Seperti umumnya vihara, terdapat altar. Hanya di Vihara Mahabrahma saja, menaruh 5 Dewa di altarnya.
Dewa Pan Kho sebagai Dewa Tuan Rumah, dan Patung diatas itulah cagar budaya |
Ditengah altar terdapat patung Budha yang hanya ada satu-satunya di Indonesia, karena patung berbentuk kecil ditemukan sebelum klenteng berdiri dan tetap ada.
Persembahan dalam ritual sembayang |
Pulo Geulis, nama sebuah pulau kecil terletak ditengah sungai Ciliwung di kota Bogor, sudah ada sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri, Pulo ini dikenal juga dengan Rawa bangke, duh! serem juga namanya, atau Parakan Barangsiang.
Pulau Geulis, disebut pulau Putri, konon dahulu pernah disinggahi Prabu Siliwanggi untuk tempat peristirahatan.
Menurut warga sunda ini, selain sebagai tempat sembahyang atau vihara, terdapat sejarah lain, vihara ini merupakan petilasan Prabu Siliwangi, Prabu Surya kencana, dan alim ulama penyebar agama Islam di kawasan Bogor dan sekitaranya, Eyang tertinggi masih keturunan langsung Sultan Banten, Ageng Tritayasa.
Keunikan vihara ini, bangunan ini seakan terbelah dua tanpa sekat. Selain tempat sembahyang agama Budha, juga mushola kecil di belakang vihara, masih satu bangunan. Warna dindingnya pun berbeda, di cat hijau. Unik bukan.
Disisi kiri terdapat altar Dewa dan meja persembahan untuk ritual agama Budha, Tao dan Konghucu, dibelah kanan, terdapat ruang kecil untuk sholat.
Jadi jangan heran, jika di vihara ini terdengar ada warga muslim yang sedang berzikir. Pada hari tertentu, seperti pada malam Jumat diadakan pengajian dan tadaruz Al Quran. Pagi harinya dilaksanakan ritual sembahyang Budha.
Kesan pertama saya di vihara ini, bisa berdampingan tapi damai. Ini Unik sekali.
Makanya, sebelum masuk kedalam ruang utama vihara ini harus melepaskan sandal atau sepatu, karena untuk menghormati keberadaan mushola itu.
Sebelum memasuki ruangan mushola, di samping kanan pintu masuk, juga diberikan altar sebagai bentuk penghormatan kepada Eyang Jugo dan Imam Sudjono.
Batu Petilasan di dalam musyola kecil |
Sholatlah tepat waktu, sekalipun di vihara |
Di dalam mushola, terdapat batu besar yang ditutupi kain hijau, serta sorban. Ada bendera merah mutih, yang entah apa maksudnya, rokok, 3 buah gelas, serta kue keranjang. Di sini diyakini tempat persinggahan atau petilasan Embah Sakee dan Eyang Jayadiningrat. Sebuah sejadah dihamparkan menghadap kiblat.
Keluar dari vihara, di sisi samping barat terdapat ruangan terbuka, dinding berlapis keramik berwarna hijau. Disebelah kiri terdapat gambar harimau(maung) yang gagah perkasa, matanya tampak garang. serta beberapa patung maung berwarna hitam dan putih.
Pak Syam,...berbagi kisah di Vihara Mahabrama |
Sebelum Prabu Siliwangi menghilang bersama pengikut setianya, beliau berpesan, yang dikemudian hari dikenal sebagai wangsit Siliwangi.
"Lamun aing euweuh marengan sira, tuh deuleh tingka polah maung"
Masyarakat Sunda yakin, Prabu Siliwinggi telah bermetaformosa menjadi maung. Keteguhan sikapnya menolak bujukan putranya, Kian Santang, untuk memeluk agama Islam, mendorong beliau dan pengikut setianya berubah wujud menjadi maung, Prabu Siliwangi menjadi maung putih dan pengikutnya menjadi maung hitam/loreng.
Bagi masyarakat Sunda, maung memiliki filosofi yang dalam, lihat dan tirulah sifat/polah maung, yang memiliki keteguhan, tegas, pemberani, pemimpin yang hebat, namun sangat menyayangi keluarganya.
Sekilas legenda penjelmaan Maung Prabu Siliwangi, hingga di vihara ini terdapat wujud maung, satu maung putih dan dua patung Maung berwarna hitam. Sebenar patung maung hitam itu hanya satu. Patung lama rusak maka diletakkan patung maung yang baru, sebagai penganti patung yang sudah rusak. Namun, karena nggak tau, mau ditaruh dimana patung maung yang lama, jadilah tetap ditaruh disana, akhir patungnya menjadi seperti dua ekor.
Yang percaya, silahkan untuk mempercayainya, saya lihat ada sebutir telur ayam kampung di mulut Maung yang lama.
Adanya simbol maung, dan altar persembahan di vihara Mahabrahma, sebagai penanda kejayaan dan kekuasaan Sri Baduga Maharaja dikenal sebagai Prabu Siliwangi dan Raja terakhir Pajajaran, Raden Surya Kencana pernah singgah(petilasan) vihara Mahabrahma ini. Disusun berbagai persembahan, kue keranjang, rokok kretek, tiga gelas berisi air puti, kopi hitam manis dan pahit serta berbagai buah-buahan.
"Pak Syam, apa setelah selesai ritual, persembahan ini bisa dimakan?"
Beliau menuturkan, silahkan diambil kalau sudah lewat seminggu, banyak warga yang mau, asal jangan kena gigit tikus saja, karena kue dan buah-buah ditaruh di tempat terbuka.
Dua sisi yang berbeda, sebelum dan sesudah masuknya agama |
Hanya di Vihara Mahabrama, menyediakan tempat untuk berwudhu |
Areal sebelah kanan, terdapat makam Embah Imam, alim ulama yang menyebarkan Islam di daerah Bogor dan sekitarnya. Banyak pula yang berziarah ke makam ini, sebagai tanda penghormatan atas perjuangan beliau dalam menyebarkan agama Islam.
Menengok ke ruangan berkeramik dengan deretan kran air, ternyata vihara ini, satu-satunya menyediakan tempat untuk berwudhu.
Suguhan pada setiap tamu yang berkunjung |
Masya Allah, kumaha urang teu seneng kamari, ditambah lagi, sajian jajanan khas Sunda, gorengan bala-bala, dan combro. Pas banget dengan selera, lagian saya memang belum makan dari pagi. Duhai, sungguh ramah vihara ini menyambut pengunjung yang datang.
Pak Syam menjelas, mereka sudah biasa dengan perbedaan ini. Nanti saat menjelang perayaan Imlek, seluruh warga, baik yang muslim ikut membersihkan vihara. Dan ada tradisi perayaan Imlek di Vihara Mahabrahma,selalu diadakan keroncongan dan disediakan makanan gratis, yang juga dimasak warga sekitarnya. Sebaliknya jika ada acara Maulid Nabi atau acara Islam lain, warga etnis Tionghoa pun turun membantu.
Di Pulo Geulis, hidup secara damai bagi etnis Tionghoa dan pribumi Sunda sudah biasa sejak dahulu kala, mereka saling menghormati.
Sebuah kata bijak yang disampai Pak Syam.
"Sauyunan di leubeut perbenten"
Perbedaan tidak bisa di satukan, tapi bisa bersama, karena kebersamaan itu indah"
Ohh, so sweet... emang benar kok, kenapa mempermasalahkan perbedaan.
Untukmu agamamu, untukku agamaku
Sejak dahulu warga Pulo Geulis memiliki kearifan lokal untuk hidup rukun dalam perbedaan.
Itulah keunikan Vihara Mahabrama.
Alamat Vihara Mahabrahma
Jalan Roda IV No.18 RT.02 RW.04
Kampung Pulo Geulis
Kelurahan Babakan Pasar, Bogor Tengah.
Vihara yang ada petilasan Kerajaan Pajajaran dan Moshola-nya memang melambangkan diversitas dalam budaya dan agama penduduk Indonesia. Patung Dewa Pan Kho itu mirip dengan patung dewa-dewa dalam agama Buddha Tibet! Memang benar bahwa perbedaan tidak bisa disatukan, tapi bisa bersama..... Wah, foto-foto artikel ini sharp! Pakai camera yang berbeda?
ReplyDeleteVihara ini merupakan tempat berbagai ragam agama, baik dari Budha, Tao, kongkhucu, Islam, bahkan sebelum masuknya agama. Jadi itulah demensi yang ada, keberagaman yang memang tidak dapat disatukan, namun bisa bersama secara damai.
DeleteFoto-foto diambil dengan cellphone yang sama, mungkin kemarin terlalu terburu, jadi blur.
Salam hangat dari Bogor
Itulah pulo geulis bu yg asli mengamalkan bhineka tunggal ika . saya bangga jadi warga sini hehehe. Cuma mau betulin namanya bukan pak syam tp pak bram gehe
DeleteBenar...berbeda itu indah. tak usah mempermasalah.
DeleteKebetulan saya tanya langsung, sampai nerjalan ke depan rumahnya, rumah satu-satunya di pulo geulis yang masih punya pekarangan yang luas dan rimbun pepohonan. Saya tanya namanya: Syam
Wah, jadi bingung...Syam atau Bram, tapi terima kasih sudah berkunjung ke blog saya
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteokee
Delete