Tuesday, November 24, 2015

Menjunjung kotak kayu untuk kehidupan [Bibi Pencok]

Cerita perjalananku di Palang Raya. Kota tempat saya tinggal dulu.

Wanita separuh baya, di tengah panas matahari siang itu.
Kota Palangka Raya di bulan Nopember tahun lalu.
Antara kagum dan kasihan, melihatnya jalan terseok.
Tubuhnya tegak menjunjung kotak kayu persegi empat, berada di atas kepalanya. Kotak kayu berisi kaleng kerupuk bekas biskuis, cobek besar dan berbagai sayur, ditutup dengan plastik dan koran menghalau debu.

Bibi Pencok  (Dokpri)

"Pencokkk," teriaknya dengan logat Madura yang kental, "Beli pencok, Bo." tawar Bibi Pencok. Kebetulan saya sedang menunggu tante saya belanja di dalam pasar. Saya numpang duduk di warung, kepanasan.

Aaahhh, hampir beberapa tahun, saya tak lagi menjumpai penjual gado-gado khas  Madura, sebut saja rujak cingur. Pencok dijual oleh pendatang Madura yang tinggal di Palangka Raya dan Banjarmasin. Nama Pencok, entah darimana muasalnya, di Madura saja, tidak ada namanya Pencok.

Pencok, terdiri dari kacang tanah goreng, bawang putih goreng, lombok, gula merah dan petis yang diulek langsung di cobek, setelah kacang diulek halus dan tercampur rata dengan bumbu yang lain, baru  diberi potongan lontong, sayur -sayuran yang di rebus(kangkung, tauge, kacang panjang), mentimun dicacah, tempe goreng, cingur sapi  dan telur ayam rebus. Terakhir diberi kerupuk. 

Sambil menunggu, bibi mengulek dengan semangat hingga pencok tersaji. Dari dulu, kebiasaan saya(jangan ditiru), selalu menolehkan wajah kearah lain, saat pencok dipindahkan dari cobek ke dalam piring(maksudnya, supaya selera makan saya tidak hilang). Sebab, alat untuk mengumpulkan isian pencok, terbuat dari irisan kulit pisang batu mentah ukuran kecil. Otomatis, selalu saja sambal kacang pencok menempel di tangan si Bibi.  Sudah saya tanya, kenapa nggak pakai sendok plastik?  katanya, lebih afdol pakai irisan kulit pisang. Ya sutralah. Ayo makan, lupakan.

Yang membedakan pencok dari gado-gado, karena ada campuran petis, rasanya menjadi khas dengan warna hitam kental. Tentu, yang tak biasa jadi aneh, seperti makan lumpur. Pencok ini, walau di jual dengan berkeliling dengan menjunjung dia atas kepala, rasanya nggak kalah dengan yang di warung. nyaman onguh(enakkk banget), apalagi ditambah cingur sapi, enake puolllll. Cingur berasal dari hidungnya sapi, rasanya krenyes, kenyal. 
Ada sensasi sendiri menikmatinya pencok, testurnya lembut karena di ulek halus dengan campuran sayur, telur, cingur. Pas banget.
Cita rasa khas Madura inilah yang bikin saya kangen pulang ke Kalimantan (Palangka Raya dan Banjarmasin).Kangen makan pencok.

Cilakakkk! saya lupa foto itu pencok Madura, maklumlah, sangking asiknya ngobrol sama Bibi, atau  efek lapar setengah rakus.
Masalahnya, si Bibi bercerita tentang kehidupannya yang susah. Semenjak kejadian perang etnis Madura dan Dayak (Padahal kejadiannya sudah hampir 14 tahun, tetap saja diingat). Sambil makan saya tetap mendengarkan cerita Bibi. Waktu itu, ia sekeluarga harus mengungsi ke kampung di Madura dengan terpaksa, 

"Sengkok oreng Sampang, pulang kesana, Boo, sudah nggak ada sodara. Sengkok lahir di Palangka, sodara yang lain di Sampit, Jadi siksa, Boo. Untung sekarang sudah damai, bisa pulang ke Palangka, Sampit. Jangan sampai, kerusuhan lagi. bisa mate sengkok" ...Ternyata sekalipun berasal dari suku Madura, Bibi merasa kampung halamannya adalah Palangka Raya.
Bibi harus mencari kehidupan demi anak-anaknya, dengan berjualan pencok menyusuri jalan. Beban di kotak kayu di kepala sudah biasa baginya, malah kalo nggak ngangkat kotak kayu pencok, malah pusing kepalanya...Kok? Yaiyalah, sehari nggak jualan, mau makan apa hari ini. Pusing sedikit biasalah, paling dikasih salonpas, dikerok atau minyak angin ditetes di lidah, langsung sembuh. 

Masya Allah...Ssaya merasa kagum pada Bibi Pencok ini, menghadapi kesulitan hidup dijawab dengan sangat sederhana. Yang penting tetap usaha, dan percaya rezeki datangnya dari Allah.
Ditanya rumahnya dimana, lagi-lagi saya kagum, tinggal  di daerah Panarung, harus berjalan sejauh ini?
"Naek taksi, Boo,"

Taksi? Sebutan untuk angkotan kota di Palangka Raya yang berwarna orange. 

"Selangkong, ya Bi" ucap saya. Terima kasih dalam bahasa Madura, orang Palangka sudah terbiasa mempergunakan bahasa Dayak, Banjar, Jawa dan Madura dalam kesehariannya. termasuk saya dulu, tapi rada lupa-lupa ingat.

"Selangkong dhe' padhe,'' Jawab Bibi, sambil memutar buntelan handuk usang, kemudian ditaruh diatas kepalanya. Saya membantu mengangkat kotak kayu ke atas. Hupf..Berat juga.
Bibi melengang menjauh. Barulah saya ingat, saya langsung  foto si Bibi dari arah  belakang.

Semoga banyak rezeki hari ini, doa saya.
















10 comments:

  1. Perjuangan hidup dan semoga rezekinya akan selalu mengalir :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semoga rezeki dan keberkahan untuk yang mau bekerja keras

      Delete
  2. saya org madura mbak en, tap baru tau makanan pencok...klo bahannya yg di atas minus gula merah tapi di ganti kecap namanya tahu tek...*apa mungkin kembaran yaa makanan2 ini* hehe

    oya, kata "selangkong" rada beda sama yg biasa saya ucapkan "sakalangkong" mungkin itu maksudnya ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pencok memang nama buat rujak cingur yg khusus utk di Kalimantan. Saya juga pernah tanya, kalo di Maduranya, nggak ada Pencok.

      Selangkong sama dengan sakalangkong. Di Palangkaraya sering mempergunakan Selangkong mbak Aireni.

      Delete
  3. rujak madura seperti pecal sumatra ya mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama ya, saya belum pernah. Kecuali lotek Padang ada mie nya

      Delete
  4. Nanti kalo udah lulus, impianku mau keliling Indonesia dan nyobain makanan2 tradisional setiap daerah. Liat ini jadi tambah referensi nih. Musti coba. di jakarta nggak ada yah? :D ahahah -_- bodoh ya pertanyaan itu..

    oh taksi di sana itu angkot toh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selagi muda dan punya kesempatan, jalan-jalan keliling Indonesia. Wujudkan impian...Iya taxsi itu angkot.

      Delete
  5. wah sudah lama gak makan ini, sejak dulu sekolah SD di bjm....
    sangat kangen BORNEO

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayuk atuh ka Borneo deui, saya di Bogor, dengan semangat pulang ke Kalimantan, demi sepiring pencok

      Delete