Review

Sunday, November 8, 2015

Cerita Payung Hijau di Sepanjang Pantai Kuta, Bali

Ini ceritaku, berlibur ke Pulau Bali dengan keindahan pantainya di bulan Oktober lalu. Begitu mengesankan, apalagi saya termasuk jarang menikmati pantai, selalu saja pergi ke Pegunungan dan Hutan.
Ternyata, pantai itu luar biasanya indahnya. Masya Allah.

Pantai Kuta yang cantik dan menawan, debur ombak yang datang silih berganti, air laut yang biru menyatu dengan garis langit yang cerah.
"Nikmat mana yang kita dustakan dari Alam semesta, ciptaan Allah." 
"Nikmat mana yang kita dustakan dari pemberian Allah."...Masya Allah.
Di pantai selain berlibur menghilangkan kepenatan, juga tempat yang cocok untuk  ber-tafakur dan tadabur alam. Sambil menyelusuri pesisir pantai Kuta ketika senja, tempat yang cocok untuk merefleksi diri, merenung,  untuk mengetahui siapakah diri saya sebenarnya.

"Sungguh penciptaan langit dan bumi itu lebih besar dari penciptaan manusia, akan tetapi manusia tidak memahaminya" QS Qhafir [40]:57

Wahai Tuhanku, Allah Yang Maha Perkasa, hamba merasa kecil dihadapanMu. Itulah hikmah selama di Pantai Kuta, Bali.

Kesan lain selama di Pantai Kuta. Ini yang membuat happy.
Kita tidak perlu membayar untuk masuk ke kawasan pantai. Gratis. Pantaslah, pantai di Pulau Bali, sangat di gemari wisatawan asing atau domestik, juga penduduk setempat...Bayangkan, kalau masuk pantai, harus bayar. Pasti deh, mikir dulu.
Panorama tenggelam matahari yang elok, dijadikan objek utama pariwisata pantai Kuta. Tak heran banyak wisatawan datang, hanya untuk meng-abadikan keindahan sunset di Pantai Kuta Bali.

Waktu tiba pertama kali di Bali, hari Minggu, 18 Oktober 2015. Awalnya saya heran, kenapa pantainya di bangun tembok? 
Otomatis, pantainya tertutup, saya tidak bisa melihat langsung bibir pantai dari dalam kota. Berbeda dengan pantai di Kota Padang, Sumatera Barat. Tepian pantai terbuka, kita bisa melihat langsung keindahan pantai Padang, sepanjang jalan di kota Padang.

Kok, Pantai Kuta di tembok?
Eh! Ternyata, tembok beton berukir khas Bali dibangun menutupi pantai, sepanjang pinggir jalan beraspal, di maksud agar saat angin kencang, debu pasir tidak menganggu orang yang lalu lalang di sepanjang jalan Kuta. Memasuki kawasan Pantai Kuta, kita melewati pasar seni adat Kuta, kios-kios souvenir benda-benda seni dan pakaian khas Bali. Kebetulan jarak penginapan saya, hanya lima menit sudah sampai ke Pantai Kuta. Mudah dicapai, dengan berjalan kaki melewati hotel dan pertokoan. 

Untuk saat ini, saya ingin bercerita bukan tentang; tenggelam matahari yang kembali tidur, berganti tugas dengan rembulan Saya ingin, bercerita tentang beragam cerita yang ada di sepanjang pantai.
Payung hijau di Pantai Kuta, Bali

Berbagai aktifitas di Pantai Kuta

Di pasir pantai yang agak kecoklatan sedikit berbulir kasar, wisatawan asik berjemur di panas terik matahari, jam 01.00 siang. Wuihhh...Kulit mereka berubah, dari putih menjadi merah kecoklatan dan terbakar. Panas begini, tetap saja menikmati sinar matahari 30 derajat Celsius lebih.
Bagi orang macam saya, wisatawan domestik, matahari yang bersinar sepanjang tahun, malah selalu dihindari, Ya gitu deh, ke pantai cuman duduk di bawah payung hijau di bibir pantai. Boro-boro berjemur. Ogahhh.
Biasanya, saya terpapar matahari dari pagi sampai jam 09.00 setelah itu lebih banyak pakai payung atau topi. Apakah itu hanya kebiasaan prilaku saya saja ya. Entahlah. Eikeh mah, Indonesia banget.  

Itulah perbedaan wisatawan domestik, dengan wisatawan asing yang berburu matahari dan panasnya pasir pantai. Bule pria dan wanita melakukan aktifitas berjemur, berkacamata dan berbikini. Itu sudah hal biasa di Pulau Bali karena pulau ini, walau kecil tapi selera dan kehidupan bertaraf Internasional. Menurut cerita teman saya, Deni Sudrajat, pria asal Ciamis yang lama menetap di Bali, sekarang bule-bule sudah agak sopan, Mereka tidak lagi bebas berkeliaran berbikini di dalam jalan kota, karena adanya larangan adat.

Berbeda wisatan asing dengan wisatawan domestik, umumnya wisatawan domestik datang ke pantai hanya buat selfie...Hihihi, ini fakta di lapangan. Yang agak aneh, boleh di lihat langsung, cara berpakaian saat ke pantai, ini khusus yang berjilbab. Rata-rata memakai pakaian yang ribet, seperti mau ke kondangan. Yaa, seharusnya, memakai pakaian santai sekalipun berjilbab. Saya juga berpakaian yang layak pergi ke pantai. Santai dan nyaman tapi tetap santai. Pilihlah, pakaian berwarna terang dengan kain mudah menyerap keringat, seperti berbahan kaos atau katun dengan model sederhana.
Kibaran bendera tertancap di pantai (sumber foto: www.tempo.co)
Kepantai, pastilah salah satu tujuannya, berendam dan berenang di pantai. Orang awan macam saya, agak keheranan, apa arti bendera yang berkibar tertancap di sepanjang pinggir pantai. Untunglah saya punya guide pribadi, jadi ngga bener-bener ndeso, pelengak pelenguk.

Bendera itu sebagai penanda area boleh tidaknya, seseorang berenang ketika di pantai:

  • Bendera merah kuning, menunjukkan bahwa hanya diperbolehkan berenang di sekitar wilayah. 
  • Bendera merah, menandakan bahwa wilayah sekitar pantai tersebut sangat berbahaya. Jadi dilarang berenang di wilayah itu, sebab ombak pantai menerjang tidak beraturan.

Nah loh, kalau sudah tau, harus lebih waspada, jangan berenang kebablasan sampai ke tengah laut. Namun, bagi pengemar selancar, ombak yang tinggi dan tidak beraturan, tidak akan disia-siakan untuk berseluncur  dikepung terjangan ombak. 

Tiba-tiba, pikiran nyeleneh saya datang. Sambil memandang laut yang ombaknya datang silih berganti, kira-kira ada hiu nggak ya?
Ternyata pantai Kuta, termasuk pantai yang aman untuk berenang, jarang ada Hiu. Pfiuhhh...jadi tenang.

Wanita Bali, kuat dan pekerja keras
Di pantai sering kita lihat, lalu lalang wanita Bali dengan topi lebar, wajahnya legam terpapar matahari. Wanita Bali terkenal sebagai kuat dan pekerja keras, seperti yang saya lihat. Wanita itu mendekati saya untuk menawarkan kalung, gelang, juga pijatan tradisional, manicure dan pedicure. Saya menghargai mereka sebagai usaha mencari rezeki. Jika tidak berminat, tolaklah dengan halus.
Ingin tampil beda sepulang liburan? di pantai juga menyediakan jasa tato temporer. Anda bisa bereksperimen dengan seni tubuh tanpa mengubah kulit menjadi permanen, atau mau gaya rambut berbeda, cobain juga, jasa kepang rambut kecil-kecil. Di Pantai Kuta, semua ada.

Siang itu, saya duduk di bangku plastik di bawah payung besar berwarna hijau. Payung- payung yang berjejer rapi dan berderet satu dengan lainnya.

Eit...jangan asal duduk ya, main selonong. Duduklah, sambil memesan minuman yang tersedia, teh botol dan aqua dingin, ada pula bir bintang. 

Kenapa kok harus beli minuman?

Yaiyalahhh...Bangku dan payung tidak disediakan secara gratis. Ini ada pemiliknya. Rata-rata mereka menyewa pertahun sebesar Rp 10 juta atau lebih. Batas lokasi jualanan, di tandai dengan alat surfing yang di tancapkan berdiri tegak di kiri dan kanan payung besar, atau satu payung dengan payung yang lain. Jadi, kalo duduk tanpa minum apapun, bisa-bisa gulung tikarlah usaha mereka.


Bir Bintang asli Indonesia
Di Pantai Kuta, hanya minuman yang dijual, tidak ada menjual makanan, karena di kuatirkan malah sisa-sisa makanan akan menambah kotor pantai. Disini, selain minuman ringan segar, juga dijual bebas minuman beralkohol

Bermain dengan ombak....

Belum bisa surfing, kursus kilat pun tersedia

Dipantai Kuta, bagi wisatawan yang ingin surfing, ada  jasa penyewaan papan surfing. Alat itu dibeli sekitar Rp 3.000.000,- dan disewakan per jam. Untung pemula atau mau belajar, pemuda pantai menyediakan jasa kursus kilat per jam Rp. 150.000,-
Untuk beberapa bulan sepanjang tahun 2015 ini, kata beach boy Kuta, usahanya agak sepi. Apa pengaruh menguatnya dollar, atau kelesuan ekonomi. Sekalipun demikian, masih ada juga rezeki yang datang, paling tidak bisa membayar sewa tempat jualan.
Nah itulah, cerita di bawah tenda hijau. Kita bisa duduk santai, menikmati angin pantai, sepoi-sepoi, sambil minuman dingin. Menunggu sunset, bisalah kita berbincang dengan pemilik usaha. Etapi...Ingat, jangan kebablasan, duduk dari pagi sampai sore, harus gantian dong, kasihan pemilik usaha kalo begitu. Harus tau diri dan tau waktu, karena bangku yang di sediakan sedikit, lebih baik duduk di pasir pantai yang bersih, gratis pula.

Yang menjengkelkan adalah, kenapa penawar jasa di pantai selalu memandang sebelah mata dengan wisatawan lokal, macam saya dan akang?

Kita flashback lagi.
Duduk di kursi tenda hijau. Tepat di kursi belakang saya, duduk pemuda pantai berkulit legam dan berambut dicat pirang. Dia yang menunggu lahan jualan. Dari logatnya berasal dari Medan yang menetap lama di Bali. 
"Dari mana, Mbak?" tanyanya.
"Bogor...Jawa Barat, Dik" 
Dia nampak acuh dan biasa.

Tiba-tiba telepon Akang berdering dari temannya.
Akang menjawab dengan bahasa Jerman bercampur Inggris. Setelah itu, terjadi perubahan sikap dari penawar jasa. Aneh.
Prediksi saya dari sikap tadi, wisata lokal memang selalu di kira kekurangan uang kali ya, di banding wisatan asing. Padahal, wisatawan lokal khususnya Indonesia, itu paling gemar berwisata. Tengok saja, Kalo berwisata ke Malaysia, Singgapura, Thailand atau kawasan Asia...hampir rata-rata orang Indonesia. Sampe-sampe, saya berpapasan langsung bertegur sapa," Indonesia lagi, Indonesia lagi"
Lebih-lebih di Tanah suci, hampir semua orang Indonesia, dan orang Indonesia paling doyan belanja, apa saja dibeli. Jadiii, dik. Ubah paradigma selama ini, hargailah wisatawan lokal, macam saya inih. Ihikzz...Gemes!
Bebas bermain


Kala senja di Pantai Kuta
Matahari mulai meredup.
Saat itu cerita tentang pantai berakhir untuk hari ini.

Indahnya Sunset di pantai Kuta Bali. Tafakur dan Tadabur Alam.

Dhilalah....Groupfie juga.
Foto by Akang Asep Mulyadi


5 comments:

  1. kalo bolehtau berapa harga sewalapak pertahun dipinggir pantai kute terimakasi sebelumnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu diaaa, nati deh saya tanyakan pas balik ke Bali

      Delete