Ketawang Gde, kota Malang tahun 1977
Nyeser Ikan dan Mandi di Kali
Mengenang masa kecil, ceritanya tak ada habisnya.
Masa yang indah, tiada yang banyak dipikirkan.
Kedua orang tua saya, bukan mengekang, saya dan saudara bebas bermain di pematang sawah, mencari ikan di kali kecil dengan seser bekas besek makanan, menangkap capung dengan getah nangka yang dipilin di ujung ranting.
Nyeser ikan, sampe ke jamban orang, asik-asik nyeser, yang di dalam jamban ngelagepan, takut diintip.
Hehehe, nyeser ikan, malah membuat orang buang hajad tak tenang. Saya cuek bebek, tetap nyeser sambil jongkok. Walau ada bunyi prat prett prottt, juga berkali-kali diteriakin dari dalam jamban.
Ikan hasil nyeser yang saya taruh di gayung, setelah banyak terkumpul, malah ditumpahkan kembali ke kali. Kasihann, habis, ikannya kecil-kecil sih, susah digoreng.
Baru tau sekarang itu namanya ikan Wader dalam bahasa Jawa atau Beunter dalam bahasa Sunda. Sekarang malah hit jadi makanan Tradisional yang banyak di cari "Nasi Wader".
Kadang saya bermain sampai ke Kali Brantas, walau takut-takut juga, setelah Bapak saya mendongeng asal mulanya Surabaya, Sura (Hiu) yang bertempur dengan Baya(Buaya) di sungai Brantas.
"Wedi aku, ono Buaya."
Tetap aja nyemplung ke kali, padahal tidak bisa berenang. Nekad!
Dengan polos saya melihat wanita muda sampai nenek-nenek, mandi telanjang di pinggir pancuran bambu sambil mencuci pakaian...Aman saja. Untung ya, tidak ada Joko Tingkir yang mencuri jarik mereka. Bisa-bisa pulang dengan bersarung karung goni. Semua masih aman, tidak ada sang pengintip.
Suatu ketika, hebohnya kami bocah kecil, main di empang tetangga yang warna airnya keruh ditumbuhi ganggang hijau.
Onooooo buaya!!!
Wah, buaya di sungai Brantas, pindah kemari, pikir saya. Terlihat punggung buaya berderat berwarna hitam. Anehnya, malah sibuk cari bambu, ditusuk-tusuk kearah buaya itu. Ealahhhh...setelah diangkat, ternyata ban mobil bekas. Akhirnya ketawa sendiri. Kalo buaya beneran, apa nggak disamber beneran. Aneh, bukannya laporan ke pemilik empang, malah cari ide sendiri. Coba kalau sekarang, mungkin sudah di upload ke media massa. Terus heboh berita, dan penayangan tivi semakin hit.
Hobby Memanjat Pohon Tetangga
Saya termasuk bocah yang tak bisa diam, kecil kurus dan berambut pendek. Hitam lagi.
Mama memotong rambut saya persis bocah laki-laki, habis saya suka memanjat pohon. Pohon orang.
....coba tebak, manakah foto saya? (dokpri) |
Berapa kali, Budhe Dullah, memarahi saya. Pemilik rumah sewaan kami. Pohon belimbing tumbuh di depan rumah kami. Wajarlah beliau marah, saya suka memetik bunga belimbing yang kecil berwarna campuran putih dan merah. Saya kumpulkan menjadi satu, ditaruh di dalam gelas diberi air. Indah sekali. Wajarlah sering dimarahi, karena kapan belimbing berbuah kalo bunganya, setiap hari dipetik.
Dipikir, itulah awal hobby saya merangkai bunga sekarang, dari bunga belimbing milik Budhe Dullah
Seharian saya bermain di dahan pohon belimbing, ngomong dan berkhayal sendiri. Mungkin, itulah awalnya saya jadi penulis, suka berkhayal.
"Aduh Nduk, mangan babal, opo ra seret."
Budhe Dullah lagi-lagi ngomel, buah nangka yang lagi pentil, saya petik, dimakan dengan garam. Garam brungkel, tanpa yodium ditaruh di telapak tangan, dicocol babal. Atau sekali kali saya makan buah yang lain.
Budhe Dullah lagi-lagi ngomel, buah nangka yang lagi pentil, saya petik, dimakan dengan garam. Garam brungkel, tanpa yodium ditaruh di telapak tangan, dicocol babal. Atau sekali kali saya makan buah yang lain.
"Budheee. Njalu pencit," teriak saya meminta izin.
Hening.
Tidak ada jawaban.
"Iyooo," saya menjawab sendiri. Segera saya petik buah mangga muda, yang dalam bahasa Jawa pencit. Krauk, krauk...saya gigit langsung sambil ngrenyit keaseman.
"Eennn..." lagi-lagi Bu Dullah berteriak.
Saya tetap mengigit pencit memandang perempuan gemuk setengah baya ngomel-ngomel, terus ngeloyor pergi.
Bandel bener. Herannya, Budhe Dullah tidak pernah melaporkan kenakalan saya ke Mama. Bahkan Pakde Dullah, seorang mantri, mengantar saya ke rumah sakit di kota Malang, untuk mencabut gigi gingsul saya. Kok heran, mau-maunya diantar orang. Coba anak sekarang. Kemana-mana diantar orang tua, boro-boro mau dengan orang lain.
Kopi Hitam
Melihat Mama membuat kopi hitam setiap pagi buat bapak, saya menjadi tertarik akan rasanya. Sisa air kopi saya seruput, hmmm enak.
Namun, saya kurang suka airnya. Kopi bubuk seujung sendok saya masukkan kemulut di lanjutkan sesendok gula, saya satukan, dan nikmat sekali. Pahit dan manis.
Ini awal saya suka kopi hingga kini.
Sejak itu, saya mencampur gula dengan kopi hitam bubuk tanpa air, masukkan di dalam plastik kecil, dibawa ke sekolah buat cemilan. Enak sekali, walau gigi banyak selipan kopi.
Serbuk kopi, saya taruh di sikat gigi. Gosok gigi dengan kopi, hasilnya gigi putih dan cemerlang. Itu ide saya sendiri, saat melihat banyak teman saya menyikat gigi dengan odol dari serbuk arang kayu. Saya ganti dengan kopi...hihihi.
Mangkir Pergi Mengaji
Bermain di pematang sawah, apalagi habis panen padi, biasanya musim angin. Banyak pemuda memainkan layang-layang yang besar dan berbunyi.
Tontonan gratis.
Bocah perempuan, mengganga dengan kagum. Layang-layang warna warni dengan buntut panjang. Yang seru, adu tali layangan, sapa kuat, dialah pemenang yang bisa memutuskan tali layangan lawan. Layangan putus dikejar sampai naik pohon. Dipikir apa untungnya, berebut layangan sobek. Ternyata, keseruannya terletak siapa yang bisa mendapatkan layangan putus, rasanya hebattt banget. Termasuk saya, suka ngejar layangan.
Dari pematang saya terkaget mendengar suara Mama Erhan, Guru Ngaji asal Kalimantan Selatan yang tinggal lama di Kota Malang.
"Eeennnnn!"
Saya langsung ngacir, ambil sarung dan kerudung sebelum dimarahi beliau...Belum ada jilbab bergo seperti saat ini, hanya selendang yang ditutupkan di kepala dan sarung yang dilipat sembarangan.
Kegiatan mengaji selain di masjid sehabis sholat Magrib. Bapak menyuruh les privat dengan Mama Erhan. Saya suka lupa waktu, kalo sudah asik bermain. Mengaji privat bada lohor. Selalu saya lupa, kecuali kalau sudah dikejar guru ngaji, baru ingat.
Jaman dulu, guru ngaji, disiplin, lagi galak sekali, sampe-sampe, saya takut buang angin.
Gelisah menahan kentut, akhirnya bunyi juga.
Tiittttt, bunyi yang indah, kecil di kala tegang.
Apa yang terjadi setelah bunyi dan bau berlalu, malah dimarahin. Itulah mengapa saya termasuk ndablek. sampe heran guru Ngaji, kapan bisa cepat khatam mengaji kalo begini. Guru ngaji hanya geleng kepala.
Dannn....
Akhirnya saya bisa khatam Al Quran juga. Sebagai tanda syukur,dan tradisi budaya khataman di kota Malang. Mama membuatkan ketan berwarna kuning di tabur serudeng. Banyak makna dari makanan ini.
- Ketan itu beras dan lengket, maksudnya, agar saya selalu ingat (lengket) mengaji dari muda hingga tua. Menjadikan Al Quran dan Hadist sebagai landasan hidup saya.
- Kunyit. Berwarna kuning dari rempah kunyit.
Kunyit ditanam seribu tahun akan tetap berwarna kuning, tidak akan berubah warna. Maksudnya, agar saya tetap bertahan ditempa jaman memegang teguh keyakinan saya sebagai seorang muslim.
- Serundeng.
Bumbu rempah serundung, yang ditabur diatas ketan kuning, berempah beremah kecil-kecil, rasanya manis legit. Itulah kehidupan, yang nanti akan saya hadapi, penuh warna dan rasa, manis, asin, asam, dan pahit, tinggal bagimana saya mengolahnya menjadi sebuah rasa syukur kepada Allah.
Itulah filosofi dari ketan kuning berbumbu serundeng.
Mama dan Bapak, sosok yang saya teladani.
Bapak tak pernah marah, apalagi memukul anaknya. Sosok pendiam, tapi hebat mendongeng buat kami, menjelang tidur.
Itulah akar pertama saya, menyukai dongeng dan menulis cerita.
Mama, ibu yang baik. Jarang-jarang marah, paling ngomel. Bermain hingga lupa waktu, herannya,Mama santai saja. Sibuk mengurus adik bayi. Kalo piring seng hilang, baru Mama mencari. Taukan Piring seng, piring yang terbuat dari logam seng, kalo dilemparpun tak pecah, cocok buat makan bocah. Aman sih.
Itulah masa kecil, di kala kota Malang, ketika udara di sana masih berhawa dingin.
Kutulis puisiku, tentang Ketawang Gde Malang tahun 1977 |
Cerita masa kecil, masa penuh warna ini saya tulis dalam bentuk puisi dalam buku antologi Ode kampung halaman.
Hikmah dari berjalanan masa kecil saya, dalam mendidik anak. Saya memberikan kebebasan sepenuhnya kepadanya, untuk melakukan aktifitas, pilihan jurusan kuliah dan memilih calon suami. Saya memberikan semua, asal masih dalam batas normal dan dalam ajaran Agama. Tak usah terlalu kuatir, karena Anak adalah titipan Allah, mereka punya jalan takdir sendiri.
Semoga cerita ini bermanfaat bagi semua.
Ikan wader ya mak, aku bilang ikan brother. Huahahaha abisan kecil2 gitu.
ReplyDeleteGood luck ya mbak semoga menang
Waaa...ikan sodara ya...makasih ya
DeleteIya ikan wader sekarang banyak yang jual + sayur lalap dan sambelan.
ReplyDeleteMasa kecilnya seru banget hihihi.
Smoga menang
Di Yogjakarta, banyak sekali di jumpai nasi wader. Ikannya digoreng pake tepung, garing, renyak...kriukkkkk
Deleteterima kasih sudah berkunjung. salam
Saya ingin zaman sekarang menjadi zaman kejayaan masa2 Khatam Al Qur'an
ReplyDeleteHiksss saya pingin nangis.....sekarang sudah jarang anak2 dapat dorongan soal Khatam Al Qur'an
Bagian gambar itu sangat menendang Mba Een :D
E ya itu foto kecilnya cantik banget hehehe tahun berapa itu?
Foto saya di tahun 77...bandel dengan potongan rambut laki-laki.
DeleteMasa kecil memang sangat indah tanpa da tekanan untuk banyak les, belajar...hanya bermain.
jadi inget masa kecil...
ReplyDeletekalau di semarang namanya " iwak mbung" po ya... :D
salam kenal Bunda
Salam kenal, terima kasih sudah bertamu.
DeleteOooo....baru tau saya, nama lainnya Iwak Mbung.
aduh lucunya. gaya berceritanya asyik sekali. saya suka. apalagi endingnya itu. sangat bermakna. tfs mak.
ReplyDeleteHehehehe...masa kecil dikampung..makasih ya, salam hangat
Deletewehhh dapat bocoran dari cari membersihkan gigi pakai kopi, nih, mak.. heee
ReplyDeleteCobain deh, taruh kopi di sikat gigi, pasti hasilnya clink banget.
Deletemba Een suka manjat juga ya, mantep deh. Masa kecil memang menyenangkan ya.
ReplyDeleteTerima kasih sudah ikutan.
Sukaaa sekali, masih banyak pohon waktu itu.
Delete