Review

Tuesday, August 18, 2015

Makan 'Lapat' biar bisa badapat...

Dapat kiriman Lapat dari saudara, sebakul pula...Kok, saya tiba-tiba, jadi inget hubungan antara lapat dengan pergi haji. Kejadian waktu mengantar haji saudara Sri Setiati dan suami  di Palangka Raya tahun 2007. Bela-belain saya datang dari Bogor, demi menjaga anak-anaknya yang di tinggal pergi berhaji.

Sebelum berangkat ke embarkasi, tamu yang di datang  ke rumah, disuguhkan penganan, namanya lapat. Lapat di makan dengan bumbu sambal kacang.

" Makan lapat, supaya ulun kawa badapat pulang, wan pian, Mbak'ae." jawab dik Sri yang mau berangkat dalam bahasa banjar sambil memberi sepiring Lapat ke saya.

Saya hanya mangut-mangut tak membantah. Sudah menjadi tradisi di kebudayaan masyarakat Banjar. Jika bepergian jauh seperti berhaji, selalu menyediakan penganan lapat. Walau ini tidak ada dalam ajaran Islam.

Lapat selau tersedia sebelum berangkat  safar/perjalanan jauh.

Lapat, dikonotasikan dengan badapat atau bertemu. Dengan makan lapat, diharapkan bisa berjumpa lagi, kembali ke tanah air dengan selamat. Makna lain, rasanya yang gurih dan lengket, agar meninggalkan kesan yang mendalam dan mempererat persaudaraan. Semoga selama jamaah haji yang pergi ke tanah suci, selalu diingat dan di doakan sanak saudara, dan sahabat, hingga dari berangkat dannpulang kembali dalam keadaan sehat, badapat pulang (berjumpa lagi). Makan lapat, biar badapat.


Lapat, makanan yang hampir mirip lontong.
Yang membedakan, lapat terbuat dari aronan beras yang di beri santan kelapa. Lapat, dikenal pula sebagai buras, nasi pundut. Kuliner ini banyak di temui di Kalimantan Selatan, dan KalimantanTengah...mungkin juga di Kalimantan Timur, kebetulan saya belum bisa memastikan ada atau tidak. Belum pernah berkunjung ke Kaltim.

Cara pembuatan lapat, mirip dengan lontong. Beras diaron di dalam wajan besar, diberi santan, daun pandan dan daun salam serta garam. Setelah beras agak lembek, barulah dibungkus dengan daun pisang. Cara membungkus, berbentuk segi empat pipih, dilipat kiri dan kanan menjadi satu, masing-masing ujungnya dilipat kedalam, tidak mengunakan lidi. Dua buah lapat disatukan, kemudian kedua ujungnya diikat dengan tali rapia. Semua lapat direbus di panci besar sekitar 3 jam lamanya. Perebusan yang lama, lapat tahan hampir tiga hari.

Lapat atau buras, di desa Cikalahang, dimakan dengan tempe goreng.
Laiyahhh, kok jadi kangen makan lapat ala Banjar. Makan dengan sambal kacang. Di tempat aslinya, memakai cabe merah kering yang direndam di air panas, diberi kacang. Warna sambal kacang  menjadi merah. Cabe merah kering saya ganti dengan cabe merah segar...Alhasil, sambal kacang ala saya, tidak begitu mirip aslinya.

Okelah, yuk mariiii...membuat sambal kacang, temannya lapat ala-ala saya.

Sambal Kacang

200 gram kacang goreng. 4 cabe merah dan 10 cabe rawit. 6 siung bawang putih dan 5 siung bawang merah digoreng sebentar. 1 cm kencur, 1/2  keping gula merah(bisa ditambah kalau suka manis), 2 daun jeruk nipis, sedikit kecap, garam, penyedap, dan 500 ml air hangat. 3 sdm minyak goreng untuk menumis.

Blender semua bahan sampai halus.  Panaskan minyak goreng, masukan semua bahan, masak hingga matang dan meletup-letup. Sambal kacang siap disajikan dengan lapat.

Rasanya nikmat, sebagai pengobat rindu, kampung halaman di Palangka Raya dan Banjarmasin. Tak perlu jauh-jauh pergi kesana, yuk membuat sendiri, lapat sambal kacang.

Selamat mencoba

3 comments:

  1. Hai mak Endah, kalo di tempatku, bungkusan gini namanya lepet. Bahannya dari beras ketan. Ih jadi ngiler lihat sambal kacangnya ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. namanya hampir mirip, beda A dan E. rasanya juga pasti sama. Dimakan pakai sambel kacang. enake puollll

      salam hangat.

      Delete
  2. di tempatku samarinda namanya buras bapalit

    ReplyDelete