Mengapa ku beri judul, kau tetap mertuaku.
Yaaa, sekalipun aku telah berpisah dengan anakmu, aku tetap merasa kau tetap mertuaku.
Sekalipun aku tak lagi bisa memelukmu seperti dulu.
Kau tetap tersimpan rapi di lubuk hatiku.
Izinkan aku tetap memanggil namamu, Mama.
Pertama kali berkunjung ke rumahnya tahun 1992 di tepian sungai Mentaya, Sampit.
Saat itu, aku hamil tua dan berencana untuk melahirkan di sana.
Aku mengunakan pesawat kecil berkapasitas 8 orang, Buroq Maskapai.
Dari Bandara Cilik Riwut menuju Bandara Sampit.
Sebelum boarding, penumpang harus menimbang tas bawaan dan berat badan.
Bisa di bayangkan, aku harus membayar kelebihan bobot badanku yang 82 kilogram, yailahhh, aku hamil besar...Begitulah saat itu, kelebihan kapasitas dihitung dari barang bawaan dan bobot badan.
Hanya dengan 45 menit, aku tiba di Sampit.
Ada yang khas, dari wanita yang keturunan Sampit Betawi itu, senyumnya yang lebar.
Sangat ramah dan tak sekalipun pernah marah.
Mama menjemputku. Kebetulan aku datang menjelang lebaran.
Kebiasaan orang Banjar, selalu menggunakan perhiasan emas, lambang kemakmuran. Sedang aku berasal dari Sunda, dan tak biasa memakai perhiasan, hanya cincin kecil di jariku.
"Pakai ini, En," dipasangkan seuntai gelang emas rantai di tanganku. Aku tak bisa berkata-kata, terharu.
Kebiasaan mertuaku itu, tak suka dibantu kalau memasak, dia cuman menyuruh duduk menemani Mama mengobrol. Tawanya yang lepas, dan ceritanya yang lucu, dan selalu memakai gerakan badan.
Aku selalu rindu dengan semua candanya, hingga kini.
Mama, mertua yang sangat baik.
"Saniah, kiyapa cucu ikam, sudahlah lahir," Kata tetangga menyapanya. Mama bernama Saniah.
Dengan gembira di tunjukan cucu ke ke tiga di keluarga kami, cucu perempuan pertama. Anakku. Aku ingat, Mama yang mengelusku saat sakitnya melahirkan dan menghiburku, kebetulan ibu saya tinggal di Bogor dan belum datang. Mertua ku, bagai ibu kandung sendiri. Menyayangiku sepenuh hatinya.
"Ma. dikasih apa Ica," tanyaku heran, melihat mertuaku menaburkan kerikan berian di puser bayiku. Berlian serbuk halus, aku takut menyebabkan infeksi.
Dengan santai, Mama menjelaskan, ini kebiasaan keluarganya. Biar anaknya bersinar seperti berlian. Buktinya, anaknya semua sehat, berwajah tampan dan cantik. Aku tak bisa membantah, hanya diam dalam hati. Semua masakan sehabis melahirkan, Mama yang mengolahnya, disertai berbagai pantanga. Aku hanya boleh makan ikan asi haruan (gabus) yang dimasak diatas kukusan nasi di dandang. Dimakan panas-panas dengan sambal merica dan sayur katuk. Mama pula yang merebuskan jamu godok melahirkan, yang pahitnya makjeb banget.
Pagi sehabis lelah melahirkan, Mama mengikat benang dijari jempolku...Aih, apalagi ini. Aku tak percaya hal-hal yang di luar kebiasaan. Ternyata, benang itu, untuk mengingatkan aku, kalo jalan harus hati-hati, lihat jempol ada benangnya. Masalahnya, kalo jempol menumbruk kaki meja, bisa-bisa pendarahan hebat karena sakit. Ealahhh...bukan musyrik seperti yang kupikirkan.
Aku menantu kedua dari enam anaknya, aku nurut saja.
Mama pula yang malam-malam menanam tembuni (ari-ari bayi) dengan Abah, di bawah pohon mangga di depan rumah. Katanya, di kubur tembuni di bawah pohon mangga, ibarat buah mangga, yang masih kecil terasa masam aja orang suka, apalagi kalau sudah manis, pasti banyak orang yang suka. itulah makna simbolis tembuni di pohon mangga.
Dalam kegembiraan menyambut cucu perempuan pertama. Anakku yang bayi sudah dipenuhi perhiasan emas komplit, gelang dan cincin emas di kedua tangannya dan kalung. Mama bangga sekali, dia pula yang menimang anakku di ayunan kain berwarna kuning yang dihiasi berbagai makanan...Sinar matanya begitu bahagia.
Dalam ingatanku, Mama adalah mertua yang selalu lepas dalam tawa.
Mama bilang, "Aku nih! loss Partai." Maksudnya orang yang Loss atau lepas, yang tidak berpihak pada partai manapun. Partai di sini adalah anak atau menantu, semua di anggap sama. Masalah apapun, Mama hanya memberitahu saja dan anaklah yang memutuskan.
Di saat badai menerpa tiang tiang rumah tangga dan patah setelah 21 tahun.
Mama tetap baik.
Mama tetap baik.
Sekarang, aku tak bisa memeluknya lagi. Mama tinggal di Banjarmasin.
Sekalipun, kini aku tak menjadi menantumu. Aku selalu berdoa untuk Mama.
Aku ingin mengucapkan, terima kasih telah menjadi bagian hidupku.
Mama tersayang, Kau tetap mertuaku, Mamaku. Sekalipun aku bukan menjadi menantumu.
Segala kebaikan akan selalu kukenang, kusimpan dalam benak dan lubuk hatiku.
Kulangitkan doaku, agar mama selalu sehat. Dan Aku bermohon, masih bisa diberikan kesempatan bertemu kembali dengannya. Melihat tawa khasnya. Tertawa mendengar ceritanya.
Selamat hari Kartini, ya, Ma...
*Tulisan ini di buat dalam rangka Hari Kartini #K3BKartian Kumpulan Emak2 Blogger.
Bogor, Selasa, 21 April 2015.
Waah mertua Bu Een baik ya.Sama kayak ibu mertuaku.Sekarang juga sudah tidak bisa lagi memeluknya karena sudah meninggal tiga tahun yang lalu.
ReplyDeleteBenar, sekalipun tak ada lagi, tetap dalam ingatan ya Mak @Nunung Yini A
DeleteSemoga beliau sehat selalu dan Mak Een berkesempatan berjumpa lagi, aamiin.
ReplyDeleteTerima kasih, semoga Allah mempertemukan kami kembali
DeleteSedih ya mak... :((
ReplyDeleteTerimakasih banyak Participasinya yaaa
Takdir
Delete